Jumat, 15 April 2011

ISLAM PADA MASA ORBA DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ORBA


MAKALAH
ISLAM PADA MASA ORDE BARU DAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ORDE BARU
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing:
Drs. Miskar, M.Pd.I


S1/ SMT III A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
Desember, 2010
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang.
Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis management) Akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan. Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan.
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat moderen dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional,berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif.
Sedangkan masyarakat informasi di tinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan manjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elekronika seperti computer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi lewat komunikasi satelit dan computer orang tidak hanya memasuki lingkunagan informasi dunia, tetapi juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah,dan sebagainya. komputer dapat dijadikan teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan eksistensisal yang mendasar.
Memasuki abad 21 atau melenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manuisia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyipakan masa depan umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Pada Masa Orde Baru
Setelah presiden Soekarno turun, secara otomatis rezim orde lama juga terhenti. Bersamaan dengan itu, maka lahirlah orde lain sebagai penerus perjuangan. Orde ini tak lain adalah orde baru yang dipimpin oleh presiden Suharto. Orde ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 32 tahun. Pada awalnya cukup demokratis, tapi itu hanya berjalan sementara saja. Banyak orang yang bersikap kritis ditangkap kemudian dipenjara. Tak jarang terjadi penculikan-penculikan terhadap sejumlah tokoh pergerakan. Bahkan seluruh gerakan mahasiswa diberangus karena dinilai mengganggu stabilitas negara. Pemberangusan itu ternyata tidak membuat mereka putus asa. Mereka terus berusaha walaupun secara diam-diam. Dan pada akhir 1990-an, ketika Indonesia mulai didera krisis, para generasi muda dari kalangan mahasiswa itu kembali melakukan berbagai gerakan menuntut pertanggung jawaban terhadap rezim orde baru. Namun, gerakan-gerakan yang mereka lakukan tidak serta-merta berhasil, baru pada tahun 1998, mereka berhasil menumbangkan penguasa orde baru yang dikenal sebagai penguasa diktator dan korup.
Walaupun demikian, sebenarnya pada masa orde baru, kalau dilihat dari segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai tempat -terutama di kota-kota besar- bangunan-bangunan besar dan mewah didirikan. Tapi kalau ditinjau dari segi politik, semakin menurun. Karena ‘trias politika’ sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya lembaga eksekutif saja, sementara dua lembaga lainnya, baik itu lembaga legistatif dan yudikatif kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua lembaga ini tunduk di bawah lembaga eksekutif. Keduanya tak lebih hanyalah sebagai ‘robot’ yang gerak-geriknya diatur oleh lembaga eksekutif. Demikian juga dari segi ekonomi, selama orde baru berkuasa, kurang berkembang, bahkan mengalami krisis yang berkepanjangan.
Pada tahun 1999, setelah rezim orde baru jatuh, Indonesia memulai kehidupan barunya dengan melaksanakan pemilu secara jurdil dan demokratis. Masa ini cukup dikenal sebagai "orde reformasi". Sebuah orde di mana saat itu dilakukan reformasi secara total dengan agenda-agenda yang sejak lama direncanakan.
Dalam konteks ini, kalau kita mau mengambil sedikit komparasi, kiranya ada kesamaan dengan perkembangan yang ada pada Islam. Ketika Islam baru muncul di pentas sejarah dengan Rasulullah sebagai pemimpin utamanya, kaum Muslimin ibarat anak-anak yang baru belajar untuk hidup di bawah asuhan orang tua yang bijaksana, yaitu Rasulullah Saw. Karena masih 'anak-anak', tentunya mereka perlu belajar untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Ada suatu hal yang menarik untuk diperhatikan, bahwa saat itu, kehidupan masyarakat Muslim masih berjalan sedemikian dinamis, tidak ada belenggu-belenggu yang mengikat, setiap orang boleh untuk bersikap kritis, semua produk pemikiran atas dasar ijtihad begitu dihargai. Nabi sendiri, dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tidak pernah merasa benar sendiri. Sebab beliau menyadari bahwa dirinya tak lebih hanyalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan.
Para ahli hadis meriwayatkan berbagai peristiwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara Nabi dan Umar. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubay, namun Umar tidak menyetujuinya. Dalam kasus ini, wahyu turun membenarkan 'Umar. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan juga bahwa Nabi saw. pernah menangis dengan terisak-isak menyesali kesalahan pendapatnya, disertai Abu Bakar. Umar bertanya, "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang pantas untuk saya tangisi, saya akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, saya akan berusaha menangis seperti tangisan Anda. Ditanya demikian, Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang turun membenarkan Umar. Lebih lanjut, Nabi berkata, "Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab." ( Pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Taufik Adnan Amal ‘Islam dan Tantangan Modernitas’ )
Riwayat di atas, merupakan justifikasi bahwa Nabi tidak pernah memonopoli kebenaran, beliau begitu demokratis, pendapat orang lain tetap beliau hormati sebagai sebuah ijtihad, tidak lantas seenaknya sendiri menyalahkan ini dan itu. Kondisi ini terus berlangsung selama kehidupan beliau hingga berakhirnya masa al-Khulafa' al-Rasyidin. Periode ini kita sebut dengan 'orde lama' Islam.
Adapun 'orde baru' Islam itu berlangsung sejak munculnya dinasti Umawiyyah, yang kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti lain setelahnya. Pada masa ini -sebagaimana di zaman Suharto- Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik itu di bidang dakwah, ilmu, pemerintahan, kesenian dan bidang-bidang lain. Tapi ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa pada masa itu kemajuan yang sudah sejak lama diraih oleh Islam, terutama dalam hal-hal yang menyangkut agama, pada akhirnya dianggap sudah final.
Hal itu terbukti ketika pada akhir abad pertengahan, mayoritas ulama pada masa itu telah berhasil membangun sebuah kesepakatan bahwa semua problem keagamaan yang esensial telah dibahas secara tuntas, tanpa ada satupun yang tertinggal, sehingga mereka kemudian berpandangan bahwa pelaksanaan segala bentuk ijtihad (inovasi) tidak diperbolehkan lagi. Sebab hal itu ditakutkan akan mengganggu stabilitas ajaran Islam. Namun, implikasi dari hal tersebut, pada kenyataanya, telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha untuk memikirkan masa depan Islam kembali. Periode ini kita sebut dengan 'Orde Baru' Islam.
Di akhir masa 'orde baru' ini, Islam dilanda 'krisis'. Dikatakan krisis, karena saat itulah kemunduran Islam semakin tampak. Akan tapi ternyata para pemikir muda Islam tidak begitu berani kalau harus berhadapan dengan status quo. Mereka hanya memanfaatkan waktu luang untuk introspeksi diri, mengembangkan potensi diri dengan mendirikan kelompok-kelompok kecil. Pada akhirnya, di kala krisis sudah sedemikian parah, lahirlah seorang tokoh Muslim terkenal (dari Spanyol), yaitu Ibn Rusydi. Dialah orangnya yang telah mempelopori perjuangan dalam membongkar hegemoni ulama klasik. Dengan kecerdasannya, dia berani 'melawan' orang sekaliber Imam al-Ghazali yang sudah dianggap sebagai Hujjatul al-Islam serta dijadikan inspirasi, kiblat dan referensi pemikiran oleh mayoritas umat Islam hingga dewasa ini. Dengan perjuangannya yang gigih, Ibnu Rusydi telah berhasil membuka kembali 'kran' ijtihad (inovasi) yang sudah 'ditutup'. Bahkan dia juga dikenal dalam sejarah sebagai seorang filosuf Arab terbesar yang mampu membangun Eropa dan menghantarkan dunia Barat ke 'pintu gerbang' Renaissance, karena kemahirannya dalam memberikan komentar dan penjelasan tentang filsafat Aristoteles. Ia juga berusaha menghidupkan kembali filsafat-filsafat para pendahulunya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan Ibnu Taufail yang telah 'dibabat habis' oleh al-Ghazali.
Meskipun Ibnu Rusydi cukup dikenal, namun ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan Islam sendiri. Sebab masyarakat Islam ketika itu masih 'mabuk' dengan pengaruh orang-orang 'orde baru' yang sudah mengkristal. Lihat saja bagaimana pengaruh Imam madzhab yang empat (aimmah al-madzahib al-arba'ah). Belum lagi Imam al-Ghazali yang hidup dipenghujung masa 'orde baru' Islam. Karya monomentalnya, Ihya ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) telah dianggap sebagai rujukan ketiga setelah al-Qur'an dan al-Hadits. Bahkan tentang karyanya ini dikatakan bahwa 'jika semua buku Islam dihancurkan, itu tidaklah begitu rugi, kalau kitab Ihya-nya al-Ghazali dapat diselamatkan'. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga dianggap sebagai 'Muslim terbesar setelah Nabi Muhammad' yang sampai saat ini belum ada replikanya.
Prestasi besar Ibnu Rusydi hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang 'orde baru'. Dia hanya banyak dikenal di Eropa. Sepanjang abad ke-12 karya-karya banyak filosuf, yang figur sentralnya adalah Ibnu Rusydi, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa latin. Ini menimbulkan gelombang produktivitas intelektual di Eropa Barat, sehingga mempengaruhi sains, filsafat, dan juga teologi. Itu dapat kita lihat dari beberapa karya para filosuf Eropa, seperti Domica, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Siger, dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rusydi-nya latin. Sebagian besar dari mereka menerima Aristotelianisme dari Ibnu Rusydi. Aquinas, khususnya, menjadikannya sebagai dasar bagi sebuah sistem teologi dan metafisika yang lengkap. ( Akbar S. Ahmed ‘Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam’ Penerjemah: M. Sirozi, Mizan: Bandung 1993, cet. Ke-1, hal 95).
Itulah puncak krisis yang mendera Islam. Khazanah kultural dan intelektual yang sejak lama menjadi ciri khas Islam, beralih tangan ke dunia Barat. Bahkan Watt -seorang penulis Barat- pernah menulis bahwa sejak abad ke-9 banyak dari generasi muda Eropa tertarik pada puisi Arab, dan lebih tertarik pada bahasa Arab ketimbang bahasa latin.
Demi melihat kondisi semacam ini, para generasi muda yang mempunyai perhatian besar terhadap Islam, tidak tinggal diam. Mereka berontak dengan melancarkan banyak kritik terhadap orang-orang 'orde baru' Islam. Maka inilah yang disebut dengan 'orde reformasi' Islam. Sebuah orde di mana seabrek tokoh-tokoh muda Islam dilahirkan. Mereka semua hendak melakukan reformasi dalam tubuh Islam, dan hendak melaksanakan 'agenda reformasi' yang pernah dicanangkan oleh Ibnu Rusydi.
Kita masih mengenal siapa itu Rifa'ah Badawi Rufi al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Qasim Amien, Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi dan sederet cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya. Mereka adalah kaum reformis Islam yang merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang 'orde baru' Islam.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa sampai saat ini umat Islam tidak maju-maju? Jawabannya gampang saja. Karena umat Islam saat ini belum siap untuk melakukan reformasi. Mereka belum memiliki modal berupa potensi yang mumpuni. Sebab ketika masa 'orde baru' Islam, kebebasan mereka dalam melakukan inovasi terlalu dibatasi dan dipersempit, bahkan dikebiri dengan ditutupnya pintu ijtihad. Sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya ber-taqlid kepada orang-orang 'orde baru'. Maka ketika ‘orde reformasi’ itu muncul, umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak memiliki pondasi yang kuat, mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Karena dalam keadaan bingung, tidak ada jalan lain kecuali diam saja. Kalaupun berbuat, -seperti yang sudah menjadi trend masyarakat Indonesia saat ini- mungkin hanya niru-niru saja.
Dan yang sangat menyedihkan adalah, bahwa saat ini, di tengah zaman 'orde reformasi' Islam, ternyata masih banyak juga orang-orang 'orde baru' yang berkeliaran. Mereka secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya sebagai orang-orang yang masih mempunyai otoritas dalam memonopoli kebenaran. Sehingga kalau ada orang yang tidak sepaham dengan mereka, dianggap keluar dari mainstream, yaitu Islam.

B. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.
Kalau dirunut kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang diemban, yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konskuen, sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.

1. Kebijakan Pendidikan Masa Pra-Orde Baru
Tilaar (2000:2) menjelaskan bahwa pendidikan dimasa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktriner pendidikan dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin.

2. Masa Orde baru
Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakauan seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masayarakat yang homogin. Tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat yang lahir ialah disiplin semu yang melahirkan masayakarat beo.
Pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan akan utang luar negeri melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing, yang tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikut sertakan di dalam manajemennya.
Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Praksis pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas tapi target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walupun diterapkan prinsip ‘link and match”

3. Masa krisis : Masa refleksi kegagalan Pendidikan Nasional
Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Jadi dapatlah disimpulkan atas evaluasi dan analisis pendidikan dimasa lampau, bahwa pada masa lalu pendidikan hanya untuk doktrin militer, pendidikan hanya diarahkan untuk keseragaman untuk mencipatakan masyarakat yang homogen, pendidikan yang mengingkari kebhinekaan. Dari hal tersebut maka pendidikan ternyata tidak terlepas dari politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan pada umumnya
Walaupun pendidikan agama mendapat porsi yang bagus sejak proklamasi kemerdekaan sampai Orde Baru berakar, namun itu semua hanya bahasa kiasan belaka. Menurut Abdurrahman Mas’ud. undang-undang pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang masih terdapat dikotomi pendidikan. Kalau dicermati bahwa undang - undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara pendidikan umum dan agama, padahal perkawinan, ilmu agama dan umum justru akan menciptakan kebersamaan dan mampu menciptakan kehidupan yang harmonis serasi dan seimbang.
Prof. Ludjito menyebutkan permasalahan yang terjadi dalam Pendidikan Agama Islam walaupun dari sistem pendidikan nasional cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini karena dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
1. Kurangnya jumlah pelajaran agama di sekolah
2. Metodologi pendidikan agama kurang tepat. Lebih menitikberatkan pada aspek kognitif daripada aspek afektif
3. Adanya dikotomi pendidikan, meterogenitas pengetahuan dan penghayatan peserta didik
4. Perhatian dan kepedulian pemimpin sekolah dan guru terhadap pendidikan agama kurang
5. Kemampuan guru agama untuk menghubungkan dengan kehidupan kurang
6. Kurangnya penanaman nilai-nilai, tata krama dalam Pendidikan Agama Islam

Seandainya dari enam aspek tersebut bisa ditangani, maka pendidikan agama akan lebih diperhatikan masyarakat.
1. Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional
Melalui perjalanan panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan pendidikan Islam haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi “lahan subur” tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu :
a. Membedakan akar peserta didik dari semua kekangan dan belenggu
b. Membangkitkan indra dan perasaan anak didik sebagai sarana berfikir
c. Membekali ilmu pengetahuan

Di samping hal itu peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara integrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional bisa dilihat dalam beberapa pasal.
a. Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang terakhir pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Pasal 4, tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, pribadi yang mantap dan mandiri.
c. Pasal 10, pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral dan ketrampilan.
d. Pasal 11 ayat 1, jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, keagamaan, kedinasan, akademik dan profesional.
e. Pasal 39 ayat 2, isi kurikulum setiap jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, agama dan kewarganegaraan.
f. Pasal 47, ciri khas suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

2. Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia.[8] Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis.
Untuk melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata pelajaran umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai dalam pendidikan. Sehingga bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu bidang studi, satu pelajaran dengan mata pelajaran yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

• Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003)

• Aliwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998)

• DJumhur, Sejarah Pendidikan, Ilmu, Bandung, 1959

• Fadhil al-Djamali, Menerobos Krisis Pendidikan Islam, (Jakarta: Golden Press, 1992)

• H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Alfa Grafikatama, Jakarta, 1998

• Majalah Rindang, Pesantren Masuk Undang-Undang, Majalah Bulanan Rindang, Semarang, Edisi XXVII, 2002

• Moeslim Abdurrahma, Islam Transformatif, (Jakarta: Putaka Firdaus, 19997)

• Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar