Rabu, 27 April 2011

ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh”
Dosen Pembimbing:
Zuhal Ma’ruf, M.Ag.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2010


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita hidup didunia ini tidak lepas dari hubungan antara manusia satu dengan yang lain, untuk itu sangatlah penting bagi kita untuk memahami fiqh muamalah, sehingga kehidupan ini berjalan baik dan lancar.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah-masalah yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tentang ‘ariyah (pinjam-meminjam), rahn (gadai), ji’aalah (upah) dan hiwalah (pemindahan hutang). Sehingga kita mengetahui bagaimana pengertian, hukum dan rukun dari ‘ariyah, rahn, ji’aalah dan hiwalah.
Dan makalah ini bertujuan agar kita sebagai umat manusia bisa menjalankan kehidupan antar sesama senantiasa berlandaskan dengan hukum islam, sehingga kehidupan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian ariyah, hukum dan rukunnya?
2. Apa pengertian rahn, hukum dan rukunnya?
3. Apa pengertian jialah, hukum dan rukunnya?
4. Apa pengertian hiwalah, hukum dan rukunnya?
C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas maka makalah ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang pengertian ariyah beserta hukum dan rukunnya.
2. Mengetahui tentang pengertian rahn beserta hukum dan rukunnya.
3. mengetahui tentang pengertian jialah dan rukunnya.
4. Mengetahui pengertian hiwalah dan rukunnya.


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
PEMBAHASAN
A. ARIYAH
1. Pengertian
‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.
Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Firman Allah swt:


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(Al-Maidah:2)
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Firman Allah Swt:

“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”(al-Ma’un: 7).
Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, diantaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam-meminjam.
Sabda Rasulullah saw:

“pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.”(riwayat Abu Daud dan Tirmizi yang dinilai hadis hasan)
2. Hukum
Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunnat, seperti tolong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjankan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan digunakan untuk sesuatu yang haram, seperti meminjamkan pisau digunakan untuk membunuh. Dari hukum-hukum diatas menggunakan Kaidah:”jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.”
3. Rukun
a. Ada yang meminjamkan. Syaratnya yaitu:
• Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
• Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang memijamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang pinjamannya, karena manfaat barang yang dipinjam bukan miliknya.
b. Ada yang meminjam
Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
c. Ada barang yang dipinjam. Syaratnya :
• Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
• Sewaktu diambil manfaatnya zatnya tetap (tidak rusak). Oleh karena itu makanan tidak sah dipinjamkan.
d. Ada lafadz
Menurut sebagian orang, sah dengan tidak berlafadz.
B. RAHN
1. Pengertian
Menurut bahasanya, (dalam bahasa arab) Rahn adalah tetap dan lestari, atau juga Al Habsu, yang artinya penahanan. Dan untuk Al Hasbu, firman Allah:

“tiap-tiap pribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuat”.
Menurut syara’, ia berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin adalah yang menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang.
2. Hukum
Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut Al Kitab, As Sunah, dan Ijma’.
Dalil dari Al kitab:



“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorng penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”.
Dalil dari As Sunah:
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk meminta gandum. Al Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. berkata:


“ Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”.
Dan para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak mempertentangkan kebolehannya. Jumhur berpendapat: disyari’atkan pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah terhadap orang Yahudi tadi, di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dengan ayat diatas, itu melihat kebiasaannya, dimana pada umumnya Rahn dilakukan pada waktu bepergian.
3. Syarat Sahnya
Disyaratkan untuk sahnya akad Rahn (gadai) sebagai berikut:
a. Berakal
b. Baligh
c. Bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada saat akad sekalipun tidak satu jenis.
d. Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.


C. JI’ALAH
1. Pengertian
Ji’alah artinya janji atau upah. Secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberrikan kepada seseorang, karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara Terminologi fiqh berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn sesuai yang diharapkan.Misalnya, orang kehilangan kuda, dia berkata “barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku akan bayar sekian”.
2. Hukum
Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa ji’alah boleh dilakukan dengan alasan:
 Firman Allah:


Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.(yusuf:72)
 Dalam hadist diriwayatkan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara ji’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatok kalajengking dengan cara membaca surat al-fatehah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah itu tidak halal. Rasulullah pun tertawa seraya bersabda: “tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli hadist kecuali an-Nasai).
 Secara logika ji’alah dapat dibenarkan karena salah satu cara untuk memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya ijarah dan mudhaarabah (perjanjian kerjasama dagang).
Mazhab Hanafi tidak membenarkan ji’aalah karena dalam ji’aalah terdapat unsur gharar (penipuan), dan perbuatan yang mengandung gharar dilarang dalam islam.

3. Rukun
 Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
 Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upah tersebut orang yang kehilangan itu sendiri.
 Pekerjaan (mencari barang yang hilang).
 Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang ditentukan.
D. HIWALAH
1. Pengertian
Hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil, yang artinya memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jiziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

“pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan hiwalah menurut istilah, para ulama mendefinisikannya berbeda-beda, diantaranya yaitu:
a. Menurut Hanafi
Hiwalah ialah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.
b. Al-Jiziri
Hiwalah ialah pernikahan utangdari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
c. Syihab Al-Din Al-Qalyubi
Hiwalah ialah akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain.
2. Hukum
Pelaksanaan hiwalah dibenarkan dalam islam, sebagaimana sabda Rasulullah:

“memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut)” (HR. Jamaah)
Sabda Rasulullah saw:

“orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang menyatakan bahwa hiwalah itu boleh dilakukan.

3. Rukun
Menurut Mazhab Hnafi, rukun hiwalah hanya: ijab dari pihak pertama, kabul dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali rukun hiwalah ada enam yaitu:
 Muhil (orang yang berutang dan berpiutang).
 Muhtal (orang yang berpiutang).
 Muhal alaih (orang yang berutang).
 Utang muhil kepada muhtal.
 Utang muhal alaih kepada muhil.
 Sigat (lafadz akad).

PENUTUP
Kesimpulan
1. ‘ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Hukum asalnya yaitu sunnah, tapi bisa menjadi wajib dan bisa menjadi haram. Dan rukun ‘ariyah ialah ada yang meminjamkan, ada yang meminjam, ada barang yang dipinjam dan ada lafazd.
2. Rahn berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin adalah yang menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang. Hukum rahn jaiz (boleh) menurut al kitab, sunnah dan ijma’. Dan syarat sahnya untuk melaksanakan rahn ialah berakal, baligh, bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada satu akad meskipun tidak satu jenis, bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.
3. Ji’aalah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn sesuai yang diharapkan. Hukum ji’aalah kalau menurut Maliki, Syafi’I dan Hanbali ji’aalah diperbolehkan sedangkan menurut Hanafi dilarang karena mengandung gharar (penipuan). Dan rukunnya yaitu lafadz, orang yang menjanjikan upah, pekerjaan dan upah.
4. Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain. Hukum hiwalah dibenarkan dalam islam sebaimana sabda nabi diatas. Dan rukun hiwalah yaitu orang pertama, orang kedua, orang ketiga, ada hutang pihak pertama kepada pihak kedua, ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama dan ada sighat.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali.2003.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rasjid,Sulaiman.1986.Fiqih Islam.Bandar Lampung: CV Sinar Baru.
Sabiq,Sayyid.1998.Fikih Sunnah.Bandung: Pustaka.
Suhendi,Hendi.2002.Fiqh Muamalah.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar