Rabu, 27 April 2011

GANGGUAN - GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN


GANGGUAN- GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ Psikologi Agama”


Dosen pembimbing:
Ainna Amalia, M. PsI.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
FAKULTAS TARBIYAH PRODI S1-PAI
Nglawak Kertosono Nganjuk
Maret, 2011

GANGGUAN- GANGGUAN DALAM PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. oleh karena itu, kesadarn agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggmbarkan sisi- sisi batin kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakaral. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agma. Pada dasarnya sikap jiwa keagamaan berasal dari dua faktor, yaitu faktor intrn mengatakn bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama, seperti naluri, akal, dan perasaan. Dan faktor ekstrn terdorong beragama karena pengaruh dari luar dirinya, seperti rasa takut ataupun bersalah. Faktor-faktor inilah yang menciptakan tata cara pemujaan yang disebut agama.
Dengan demikian, pada makalah ini akan membahas berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya, baik pengaruh yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun dari luar.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari Latar Belakang di atas, maka pada makalah ini dapat memeberikan Rumusan Masalah sebagai berikut:
1. Apa saja faktor intrn yang memepengaruhi perkembanagan jiwa keagamaan seseorang?
2. Apa saja faktor ekstrn yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang?
3. Bagaimana Fanatisme dan ketaatan mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Memahami faktor intrn yang mempengaruhi perkembanagn jiwa keagamaan seseorang
2. Memahami faktor ekstrn yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang
3. Memahami faktor fanatisme dan ketaatan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang


BAB II
PEMBAHASAN
GANGGUAN- GANGGUAN DALAM
PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

A. FAKTOR INTRN
Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh beberapa faktor intrn. Para ahli psikologi agama mengemukakan beberapa teori berdasarkan pendekatan masing- masing. Pada dasarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antar lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan.
1) Faktor Hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann Gregor Mandel telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia. kemudian dikembangkan oleh H. Nilson Ehle dan R. Emerson serta E.East. mereka meneliti tentang pengaruh genetika terhadap warna kulit.
Secara garis besarnya pembawa sifat turunan terdiri dari genotip dan fenotip. Genotip merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan namun tidak jauh menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, waerna kulit ataupun bentuk fisik
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Demikian pula Margeth Mead mengemukakan penelitiannya terhadap suku Mundugumor dan Arpesh bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa- gesa (Arapesh) menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan tenang (mundugumor) akan menampilkan sikap yang toleran.
Menurut Sigmund perbuatan buruk yang dialakukan akan menimbulkan rasa bersalah ( sense of guilt ) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangna agama, maka akan menimbulkan rasa berdosa. Dan perasan ini yang ikut memepengaruhi perkrmbangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas.
2) Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development Of Relegius on children Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak- anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama, selanjutnya pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itupun menyrtai perkembangan jiwa keagamaa mereka. Bahkan menurut Dr. Kinsey sekitar tahun 1950-an remaja Amerika telah melakukan mesturbasi, homoseksual, dan onani.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhitejadinya konversi agama. Bahkan menurut Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya konversi agama. Meskipun menurut Robert H. Thouless bahwa konversi cenderung dinilai sebagai produk sugestu dan bukan akibat dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang, namun kenyataan itu tak sepenuhnya dapat diterima.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tamnpaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi lebih banyak tejadi pada anak- anak, mengingat diusia tersebut mereka lebih mudahmenerima sugesti. Namun kenyataanya hingga usia baya pun masih terjadi konversi agama. Bahkan konversi yang terjadi pada Sidharta Gautama, Marthin Luther terjadi di usia sekitar 40 tahunan. Kemudian al-Ghazali mengalaminya pada usia yng lebih tua lagi. Robert H. Thouless membagikonversi menjadi konversi intelektual, moral, dan sosial.
Telepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembanga jiwa keagamaan barangkali tidak di abaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu- satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yang jelas kenyataa ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda
3) Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur tersebut yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaa, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan.
Tiplogi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalaman lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapt diubah karen asudah terbentuk berdasarkan komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Springer, Sheldon, dan sejumlah psikologi lainnya telah mengidentifikasikan adanya tipe- tipe kepribadian, Edward Spanger membagi tipe kepribadian menjadi enam, yaitu: manusia ilmu, manusia sosial, manusia ekonomi, manusia estesis, manusia polotik, dan manusia relegius. Sebaliknya melalui pendekata karaterologis, Erich Fromm karakter yang mendasari sifat- sifat perilaku dan menilai sejauh mana baik buruknya perilaku terbentuk dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia membagi hubungan ini menjadi edua, yaitu: 1) hubungan manusia dengan alam kebendaan 2) hubungan sesamam manusia yang disebut sosialisasi.
Unsur bawaan merupakan faktor intrn yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut sebagai identitas (ati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri- ciri pembeda dari individu luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secar individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembanga aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu dijimpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda ( double personality). Dam kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek kejiwaan pula.
4) Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor intrn. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud menunjukkan gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. dengan demikian sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor- faktor tertentu saja. Pendekatan- pendekatan psikologi kepribadian menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian dengan kondisi kejiwaan manusia hubungan ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal)
Gejala- gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan (psycosis), dan kepribadian (personalty). Kondisi kejiwaan bersumber dari neurose ini menimbulkan gejala kecemasan neirose, absesi dan kompulasi seta amnesia. Kemudian kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita schizoprenia, paranoia, maniac, serta infantile autism (berperilau seperti anak- anak).

B. FAKTOR EKSTRN
Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perlaku keagamaan.
Potensi manusia yang secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berua kecendrunga untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang bersal dari luar manusia. pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, yang secara umum disebut sosialisasi.
Faktor ekstrn yang dinilai berpengaruh dalam perkembanagn jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut di bagi menjadi tiga, yaitu 1) keluarga 2) institusi 3) masyarakat
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra terhadap bapaknya. Jika seseorang menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku bapaknya. Demikian pula sebaliknya.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah banyak disadari. Oleh karen itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan tanggung jawab. Ada semacam ramgkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqoqohkan, memberi nama baik, dsb. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar perkembanga jiwa keagamaan.
2) Linkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak 2) hubungan guru dan murid 3) hubungan antar anak. Dilihat dari kaitannya denagan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab pada prinsipnya perkambangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok tersebut secar umum tersirat unsur- unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, sabar, simapati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat- sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang bersisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagi pendidik serta pergaulan antar temandi sekolah dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitnnya dengan perkmbangan keagamaan seseorang.

3) Lingkungan Masyarakat
Pergaulan di masyarakat umumnya kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Meskipun tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mendukung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi, norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang, pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembanagn jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun intitusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung lebih sekuler, kondisi seperti itu jarang di jumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.

C. FANATISME DAN KETAATAN
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembanagn jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga terjadi hubungan dengan benda- benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi) seperti institusi keagamaan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed) 2) arahan dalam (inner directed) 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional di pandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agam agaknya tidak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering sering dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecendrungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka bagi pembenara spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
GANGGUAN- GANGGUAN DALAM
PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A. KESIMPULAN
 Faktor Intrn
 Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
 Tingkat Usia
Perkembangan pada anak- anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk perkembangan berpikir
 Kepribadian
Hubungan antara unsur hereditas dan lingkungan yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaan, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan
 Kondisi Kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal, Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal,
 Faktor Ekstrn
 Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra terhadap orang tuanya. Jika seseorang menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku orang tuanya. Demikian pula sebaliknya.
 Lingkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
 Lingkungan Masyrakat
kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhu bersama.
 Fanatisme dan Ketaatan
Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

2 komentar: