Jumat, 15 April 2011

NU MASA DEPAN


NU MASA DEPAN
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah KE-NU-AN
Dosen pembimbing:
Drs. K.H Abdul Qodir Al Fatah

S1/ SMT II A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2010

NU Masa Depan
A. Gambaran Kedaan NU pada masa yang akan datang
Masa depan NU, adakah NU akan mampu exis beberapa tahun kedepan, sementara perubahan kondisi masyarakat terus maju, sementara banyak para kyai telah berpulang ke Rahmatulloh, tanpa meninggalkan seorang pengganti yang mumpuni atau minimal setara dengan kemampuan para kyai itu.
Terlihat dari kondisi pesantren yang akhir-akhir ini makin sepi, dan seolah tidak sesuai dengan tuntutan zaman, apakah NU akan tetap diam dengan kondisi yang jelas-jelas menggambarkan bahwa generasi mereka akan menjadi keropos, sementara manusia zaman modern kini, serba materi, bahkan banyak Kyai yang terjun berebut materi lewat politik praktis.
Juga perkembangan pengetahuan santri dipesantren yang kian tertinggal dan terlalu mengunggulkan utawi iki iku, tanpa menjadikan mereka memahami maksud dari kitab yang iya pelajari, hingga yang terjadi adalah ilmu yang sebatas utawi iki iku, tanpa bisa menggunakan ilmu yang ada sesuai dengan tuntutan zaman.
B. Tantangan NU di masa depan
"Kalau dulu tantangan yang dihadapi oleh NU hanya dari atas, yakni dalam hubungannya dengan pemerintah. Maka kini tantangannya juga datang dari samping kanan kiri, dari bawah, bahkan juga dari tengah," ungkap KH Masdar Farid Mas'udi dalam acara Pemaparan Visi dan Misi Kandidat Ketua PBNU yang diadakan Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), di Jalan Jeruk, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (13/9/2009).
Dijelaskannya, persoalan NU sebagai ormas agama, kini tak lagi didominasi oleh hubungannya dengan elit politik dan pemerintahan. Isu-isu nasional dan keagaaman kini justru lebih menyeruak, terkait dengan kondisi moralitas bangsa yang semakin tercerai berai.
Ia menganalogikan tekanan tersebut sebagai tekanan yang datang dari sisi kanan dan kiri terhadap NU. "Kaum Islam garis keras dan radikal yang terus menerus terkait dengan terorisme, menjadi tekanan NU dari sisi kanan dan kiri. Sebagai ormas Islam, NU tentu akan langsung bersentuhan dengan persoalan-persoalan terorisme semacama ini," ungkap dia.
Sementara dari bawah, yang menjadi masalah adalah hubungan antara warga NU di akar rumput dengan para elite NU seringkali tidak selaras. Banyak kebijakan-kebijakan dan himbauan dari para elite NU yang tidak sampai kebawah dan diserap NU. Demikian sebaliknya, aspirasi dari warga tersebut tidak sampai kepada para pimpinan.
Ia mencontohkan, pada pemilu lalu, keinginan para elit NU terkait dengan kandidat-kandidat pilihannya di kancah politik, seringkali tidak selaras dengan pilihan warga NU. "Di kantong-kantong suara NU, perolehan suara yang didapatkan justru banyak tidak sesuai dengan keinginan pimpinan," imbuhnya.
Kondisi ini juga terjadi pada internal di tubuh PBNU, yang disebutnya sebagai tantangan dari tengah. Menurut Masdar, masalah dari tengah merupakan persoalan mengenai sering terjadinya friksi di antara para elite NU. "Masalahnya adalah pada moral standing . Banyak penyakit-penyakit pragmatis dari kancah politik praktis yang ikut terbawa-bawa ke dalam tubuh NU," kata dia.
Menurut Masdar, untuk menangani persoalan-persoalan ini, tidak ada jalan selain melakukan langkah-langkah koordinasi internal untuk mengembalikan fitrah NU sebagai ormas yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Tindakan inilah yang menurutnya harus secara tegas diambil oleh pimpinan NU ke depannya.
C. Semangat pemimpin NU masa depan
Realitas yang dialami masyarakat Indonesia saat ini, khususnya warga NU, adalah sebuah realitas global. Kenyataan ini merupakan perkembangan zaman dengan ditandai sebuah kebebasan, tanpa batas dalam menginteraksikan atau mengomunikasikan produk-produk budaya. Budaya dan pemikiran asing dengan mudah masuk dan diakses oleh masyarakat Indonesia hanya melalui media dan teknologi. Gejala globalisasi ini, selain berdampak baik bagi perkembangan kehidupan, memiliki dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat.
Salah satu dampak yang dirasakan adalah maraknya budaya hedonis, materialistis, dan pragmatis. Karena budaya inilah masyarakat Indonesia, khususnya warga NU, mengalami beberapa krisis. Di antaranya adalah krisis kepercayaan, krisis moral, krisis pemikiran, dan yang paling tampak adalah krisis ekonomi.
Beberapa krisis tersebut sangat berdampak besar bagi macetnya keberlangsungan hidup, khususnya keberlangsungan organisasi NU. Untuk itu pemimpin NU masa depan harus menyuarakan gerakan gerakan perubahan masa depan yang dimulai secara struktural, sehingga berdampak secara kultural. Keinginan tersebut, tentunya harus didukung dengan adanya beberapa konsep kepemimpinan sebagai landasan dalam memimpin NU di kancah persaingan global.
Seharusnya kepemimpinan masa depan memiliki prinsip think globally act locally alias berpikir global bertindak lokal. Dalam konteks NU, ini berarti mengkaji dan menggunakan produk-produk kemajuan modern dengan berlandaskan nilai-nilai atau tradisi tradisi NU.
Dalam rangka mewujudkan prinsip tersebut, terdapat konsep kepemimpinan NU yang berpijak pada tradisi-tradisi NU. Pertama, kepemimpinan yang berdasar pada semangat kecintaan terhadap tanah air. Semangat ini telah dipraktikkan oleh kaum Nahdliyin masa lalu, tepatnya pada tahu 1961, yang dikenal dengan Nahdlatul Wathan.
Dengan semangat ini pemimpin NU masa depan akan lebih memperhatikan keselamatan dan keamanan bangsa dan negara dan mewaspadai maraknya gerakan keagamaaan transnasional yang dapat menghancurkan nilai-nilai Pancasila, yang secara bertahap juga mengancam eksistensi NKRI.
Kedua, kepemimpinan yang memiliiki semangat cinta akan pengetahuan dengan melestarikan budaya berpikir, membaca dan menulis. Semangat tersebut telah dilaksanakan para pendekar pesantren pada tahun 1918 yang akrab disebut Nahdlatul Fikri.
Semangat cinta pengetahuan ini dapat memperkaya cakrawala pemikiran pemimpin kaum Nahdliyin agar mampu beradaptasi dengan zaman. Semangat itu juga dapat membendung dan memfilter pelbagai pengetahuan, pemikiran orang-orang Barat, yang kerap menjebak dan menghipnotis kaum Nahdliyyin. Dengan begitu, nilai-nilai pemikiran ahlussunnah wal jamaah tidak mudah tergadaikan pada produk-produk barat.
Ketiga, kepemimpinan yang berdasar pada kepedulian dan pemberdayaan terhadap ekonomi masyarakat. Semangat ini juga pernah terjadi dan mewarnai kebangkitan nasional. Semangat yang diusung kaum santri itu lebih dikenal dengan sebutan Nahdlatut Tujjar yaitu kebangkitan para saudagar.
Semangat ini sangat relevan dan tepat digunakan oleh pemimpin NU masa depan untuk mengentas masyarakat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Di sisi lain, konsep tersebut dapat menciptakan independensi ekonomi masyarakat Nahdliyin, dan bangsa Indonesia pada umumnya, agar tidak selalu berada dalam penjara para pemilik modal.
Beberapa konsep inilah yang menurut tuturan sejarah menjadi semangat awal dan melatarbelakangi lahirnya kebangkitan para ulama (nahdlatul ulama) yang dimotori oleh Rais Akbar KH Hasyim Asy�ari. Dengan kata senada, NU organisatoris yang dicita-citakan para pendahulu yang saat ini telah termakan zaman, akan kembali hidup ketika para pemimpin NU masa depan mampu menginjeksikan kembali semangat Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Fikri,dan Nahdlatut Tujjar ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama.
D. Masa Depan Politik NU
Pada dasarnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah ijtima’iyah diniyah) yang terbesar di negeri ini dan bukan organisasi politik. Namun demikian, persentuhan organisasi ini dengan partai politik dapat dikatakan sudah sejak awal berdirinya walaupun hanya sebatas ‘sentuhan halus’. Sedangkan secara monumental, sejarah politik NU mulai tampak sejak muktamar di Situbondo pada tahun 1984, yang memang dijadikan media untuk mengevaluasi di bidang politik, yaitu ketika NU memutuskan untuk kembali ke Khitah 1926. Inti khitah itu adalah pertama, NU tidak memiliki hubungan organisatoris dan berafiliasi dengan politik manapun. Kedua, memberikan kebebasan kepada warganya berkiprah dalam politik untuk menebarkan dan memperjuangkan misi ke-NU-an.
Sejak tahun 1984 itulah NU konsisten dalam mengambil jarak dengan partai politik atau sering dikatakan pula sebagai sikap netral dalam berpolitik. Sejak itu pula muncul semacam keyakinan tertentu di kalangan elit dan warga NU bahwa NU tidak akan menjadi parpol, tidak mendirikan parpol dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Sikap netral semacam itu berjalan cukup lama bahkan sampai dewasa ini masih tertanam kuat dalam alam pikiran jamaah NU sehingga ada yang mengatakan sudah menjadi ideologi politik atau budaya politik penganutnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan arus politik yang semakin kuat, organisasi yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau tanggal 31 Januari 1926 M ini tidak bisa menghindar begitu saja dari percaturan politik, terlebih ketika melihat kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk dan buta secara politik. Hal itu tampak jelas Pada Pemilu 1999 dimana, NU melibatkan diri dalam arus reformasi dan hingga batas tertentu masuk ke suasana pesta pora politik. Orang-orang NU banyak masuk menjadi pengurus partai dan ada pula yang duduk di parlemen. Semakin tampak lagi ketika mantan ketua umum PBNU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yang kemudian disusul oleh KH. Hasyim Muzadi yang mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden pada tahun 2004 kemaren.
Dewasa ini, syahwat politik di kalangan jamaah NU terus menguat untuk tidak mengatakannya parah. Dalam pemilihan kepala daerah, jamaah NU selalu menjadi garda depan. Sedangkan dalam pemilihan calon legislatif, orang-orang NU banyak yang menyalonkan dirinya untuk duduk di parlemen. Pamflet, stiker, baleho, almanak, dan semacamnya menjadi media ‘penampakan’ wajah ke-NU-an mereka. Bahkan dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, warga NU menjadi objek utama setiap kandidat. Semua alat kampanye dipenuhi dengan foto-foto dan tandang tangan tokoh NU, terlepas apakah itu berarti secara subtantif atau hanya ikut-ikutan atau bahkan menjadi objek perpolitikan yang diambil manfaat oleh instansi-instansi politik (baca: parpol) lain. Tapi yang jelas bahwa reputasi NU sebagai organisasi terbesar sudah mulai luntur karena sering ‘diperdagangkan’ oleh jamaahnya sendiri.
Jadi, sangat mafhum jika salah satu pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengajak seluruh pengurus NU tidak lagi terjebak pada politik praktis. Di samping itu, beliau juga mengimbau sebaiknya di masa mendatang komunitas pondok pesantren—yang merupakan basis NU terkuat—tidak melibatkan diri dalam ingar-bingar politik praktis. (Kompas Jatim, 09/07/2009).
Politik masa depan Nu berdasarkan Himbauan Gus Solah tersebut kalau kita akurasikan dengan kondisi politik yang digeluti oleh warga NU dewasa ini menjadi sangat beralasan, di samping NU seakan menjadi organisasi politik yang namanya 'dipamerkan' di mana-mana, warga NU bercerai-berai, juga in come positif dari perpolitikan yang dilakoni belum dapat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya warga nahdliyin.
Harus disadari sejak dini, bahwa perpolitikan ke depan akan semakin kental dan kompleks. Gesekan antar gerakan politik yang semakin akut, kaum politisi yang terus membeludak, partai politik yang terus tumbuh subur, pemerintahan yang semakin politis, dan bahkan adanya sinyalir permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan politik menjadi indikasi kuat atas tumbuh-suburnya politik di masa yang akan datang. Sehingga, NU sebagai jam’iyah ijtima’iyah diniyah tentunya dapat diprediksikan akan terlibat di dalamnya.
Dari itu, tugas besar bagi NU dan jamaahnya adalah mempersiapkan perpolitikan masa depan. Jika tidak disiapkan sejak dini, maka jelas konsekuensi yang harus ditanggung akan lebih besar, lebih berat dan lebih beresiko. Salah satu proyek atau agenda yang patut dipersiapkan adalah menyusun kekuatan politik yang beroientasi membangun (power to) sebagaimana dalam teori kekuasaan Jean Bethke Elshtain dan meninggalkan tradisi politk lama yang sifatnya lebih pada merusak (power over), atau dalam tradisi NU al-muhafadlah bi al-qadimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Agenda itu bisa dilaksanakan dengan beberapa langkah, misalnya: pertama, menyatukan visi-misi politik antara partai politik NU, karena sampai saat ini partai-partai NU disibukkan dengan orientasi politiknya masing-masing sedangkan NU sebagai induknya cenderung mereka lupakan.
Kedua, membangun konsolidasi yang lebih erat. Selama ini jarang kita dapati partai-partai NU seperti PKB, PPP, PKNU, PBR, dan semacamnya berkumpul dalam satu forum secara inten untuk membahas orientasi, strategi dan capaian politik di masa depan. Langkah ini dilakukan untuk mempererat jalinan ukhuwah islamiyah nahdliyah yang mulai kendor, memperkuat ideologi politik yang retak dan sekaligus mempertemukan ide-ide politis yang sudah barang tentu berbeda satu sama lain dan bisa dicarikan titik temunya secara kolektif-organisatoris.
Namun yang perlu diingat bahwa langkah-langkah tersebut dilaksanakan untuk menampilkan citra atau reputasi NU yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis seperti al-tasamuh, al-tawazun, al-'adalah, al-syura, al-hurriyah, menjadi lebih baik bukan justru sebaliknya. Sudah saatnya, NU yang secara kuantitas terbesar di Indonesia, baik dalam kapasitasnya sebagai organisasi (jam'iyah) maupun sebagai komunitas (jama'ah), bersatu menyambut masa depan politik yang lebih cerah dan lebih cemerlang.

PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika diamati, dilihat secara seksama dan setelah melihat calon penerus para penerus estafet perjuangan Nu kedepan, tampak Nu akan mengalami keminduran, karena sikap masyarakat yang terlalu tradisional yang tidak mau mengenal hal-hal yang modern. Juga perkembangan pengetahuan santri dipesantren yang kian tertinggal, hal ini juga sangat berpengaruh karena pada umumnya pemuda Nu adalah pemuda yang semasa mudanya hidup di pesantren.
2. Warga NU ahir-ahir ini mengalami beberapa krisis. Di antaranya adalah krisis kepercayaan, krisis moral, krisis pemikiran, dan yang paling tampak adalah krisis ekonomi.
3. Salah satu cara dalam pembenahan politik Nu kedepan adalah sebagai berikut:
Pertama, menyatukan visi-misi politik antara partai politik NU, karena sampai saat ini partai-partai NU disibukkan dengan orientasi politiknya masing-masing sedangkan NU sebagai induknya cenderung mereka lupakan.
Kedua, membangun konsolidasi yang lebih erat antar partai-partai NU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar