Jumat, 15 April 2011

QAWAIDUL FIQH KAIDAH KE 37 - 40


KAIDAH FIQIH KE 37-40

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah ”Qawa’idul Fiqh”

Yang Dibimbing Oleh :
Drs. KH. ABDUL QODIR, AF.




PRODI S-I PAI
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ’ULA
( S T A I M )
NGLAWAK – KERTOSONO
DESEMBER 2010

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai orang yang menganut ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah, perlu sekali mempelajari kaidah-kaidah fiqih yang berorientasi tentang hukum fiqih, untuk memahami pola dan dasar-dasar berijtihad sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama’ salaf. Sehingga mereka tidak terjebak dalam belenggu taqlid secara terus menerus, lebih-lebih dalam menjawab permasalahan hukum yang semakin kompleks, semakin berkembang seiring perkembangan zaman.
Dengan makalah ini semoga pembaca dapat menambah sedikit wawasan tentang kaidah-kaidah fiqhiyyah, setidaknya mampu menghafal, bahkan memahami kaidah-kaidah fiqhiyyah.
Maka dari itu, disini akan dibahas beberapa kaidah fiqhiyyah. Mulai dari kaidah ke-37 sampai kaidah ke-40.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa maksud kaidah ke-37 yang berbunyi :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
2. Apa maksud kaidah ke-38 yang berbunyi :
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
3. Apa maksud kaidah ke-39 yang berbunyi :
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
4. Apa maksud kaidah ke-40 yang berbunyi :
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembahasannya adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui maksud kaidah ke-37 yang berbunyi :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
2. Mengetahui maksud kaidah ke-38 yang berbunyi :
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
3. Mengetahui maksud kaidah ke-39 yang berbunyi :
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
4. Mengetahui maksud kaidah ke-40 yang berbunyi :
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ















BAB II
PEMBAHASAN
QAWA-ID FIQH KAIDAH KE 37-40


2.1 KAIDAH KE-37
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
”Sesuatu yang ketika menjadi tujuan tidak diampuni, diampuni waktu menjadi lantaran”.
Contoh :
Melukai anggota badan sebagai tujuan, tidak boleh. Tetapi operasi yang dilakukan oleh dokter tidak dilarang, sebab operasi hanyalah lantaran untuk menyembuhkan si sakit.

2.2 KAIDAH KE-38
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
”Yang mudah tidak gugur karena yang sukar”.
Kaidah ini di ambil dari hadist yang berbunyi :
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
Artinya : ”Manakala kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakanlah sebisa kalian”.
Contoh :
1. Orang yang hanya memiliki satu tangan, dalam wudlu ia harus membasuh apa adanya, yaitu satu yangan yang dimilikinya itu.
2. Orang yang baru bisa membaca surah Al Fatihah setengah, dalam shalat haruslah membaca apa yang dia bisa itu.



Pengecualian :
Dari kaidah ini masalah yang dikecualikan juga tidak sedikit, antara lain :
a. Seseorang berkewajiban membayar kafarat (denda) dengan memerdekakan budak. Jika ia hanya memiliki setengah, maka tidak boleh memerdekakan setengah yang dimilikinya itu, melainkan hanya menggantinya saja dengan puasa dua bulan berturut-turut.
b. Orang yang hanya kuat berpuasa setengah hari karena sakit umpamanya, ia tidak diwajibkan imsak setengah hari yang terakhir.
c. Seseorang ketika hendak meninggal dunia, berwasiat untuk membeli rumah guna dijadikan madrasah. Kemudian ternyata sepertiga dari harta peninggalannya tidak mencukupi untuk membeli sebuah rumah, maka wasiatnya menjadi batal.
d. Seseorang yang habis berbelanja, ketika sampai dirumah mendapati barang yang dibelinya cacat. Waktu hendak dikembalikan tokonya tutup. Lalu cacat itu hendak ditunjukkan dan dipersaksikan kepada orang lainpun tidak dapat, sebab kebetulan ia sakit. Dalam keadaan begini, ia tidak wajib mengucapkan kata-kata : ”Jual beli ini saya batalkan”, sebab memberitahu atau memberi kesaksian kepada diri sendiri itu tidak ada artinya.

2.3 KAIDAH KE-39
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
”Sesuatu yang tidak bisa di bagi itu, memilih sebagiannya sama dengan memilih seluruhnya dan menggugurkan sebagiannya berarti menggugurkan seluruhnya”.
Contoh :
1. Seseorang berkata kepada istrinya : ”Kau kucerai sebagian”, padahal thalaq itu tidak bisa di bagi. Maka menurut hukum, thalaqnya jatuh satu, sebab memilih sebagian sama dengan memilih seluruhnya.
2. Seseorang membeli baju dan diketahui lengannya sedikit robek. Dia tidak bisa meminta ganti hanya lengannya saja, sebab baju tidak dapat dibagi-bagi, karenanya menggugurkan sebagian berarti menggugurkan seluruhnya.
Cara sebagian menjadi keseluruhan :
Para ulama berselisih pendapat tentang ”apakah hukum terhadap sebagian menjadi hukum terhadap keseluruhan itu dengan jalan merembet atau tidak ?”.
Imam Rafi’i berpendapat, bahwa jalan hukum terhadap sebagian menjadi hukum terhadap keseluruhan adalah merembet. Sedangkan Imam Haramain mengatakan, tidak merembet melainkan sekaligus. Jadi, berarti lafadznya menunjuk sebagian, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan, seperti halnya ucapan: ”Sudah banyak telinga yang mendengar”, ini yang dimaksud adalah ”Sudah banyak orang yang mendengar, sebab telinga saja (telinga yang putus umpamanya), tentu tidak mungkin dapat mendengar”.

2.4 KAIDAH KE-40
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
”Manakala terkumpul sebab atau tipuan dengan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan”.
Contoh :
1. A menjual sebilah pisau pada B, lalu oleh B pisau itu digunakan untuk membunuh. Dalam hal ini yang terkena tuntutan adalah B, karena dialah pelaksana pembunuhan. Meskipun menjadi sebab dia dapat membunuh adalah A yang menjual pisau kepadanya.
2. A tahu bahwa mobilnya tidak normal, tetapi ketika B hendak memakai mobil itu, A mengatakan bahwa semuanya baik. Kemudian ternyata berjalan beberapa saat, remnya blong dan menabrak orang. Yang terkena tuntutan adalah B, meskipun dia menabrak itu, karena ditipu oleh A.
Pengecualian :
a. A memakai celana milik B tanpa izin, lalu oleh A celana tersebut diserahkan ke penjahit untuk dikecilkan, padahal penjahit itu tidak tahu, bahwa celana itu bukan milik A sendiri. Maka jika terjadi tuntutan kesalahan bukannya dipikulkan kepada penjahit sebagai pelaksana melainkan kepada A sebagai sebab.
b. A menyewakan sebuah truk beserta sopirnya untuk memuat garam. Dalam perjanjian, telah disepakai bahwa A tidak boleh mengisi truk dengan muatan lebih dari empat ton. tetapi kemudian, oleh A truk diisi muatan seberat enam ton dan surat angkutan yang diberikannya kepada sopir, tertulis empat ton. Tiba-tiba ditengah perjalanan per truk putus. Ketika diperiksa ketahuanlah bahwa muatan bukan hanya empat ton melainkan enam ton. Dalam hal ini yang dipersalahkan dan dituntut mengganti adalah A (penyewa truk), dan bukannya sopir.
c. A memiliki kebun yang setiap hari dimasukki kambing tetangganya. Kemudian ia meminta fatwa kepada B, tentang bagaimana hukumnya kambing yang selalu memasuki kebun dan merusak tanamannya itu. B menjawab : ”Kambing itu boleh dipotong”. Setelah kambing betul-betul dipotong oleh A. pemilik kambing tidak terima dan menuntut ganti. Maka yang wajib membayar ganti adalah B.
d. Seorang perwira memberikan perintah kepada prajurit bahwasanya, untuk membunuh orang yang tidak bersalah, sedangkan prajurit itu tidak tahu menahu duduk perkaranya. Menurut hukum, yang dituntut adalah perwira yang memberikan perintah meskipun pelaksananya adalah prajurit bawahannya.
e. A berikrar, bahwa kebun kelapa miliknya yang berada dibelakang masjid diwakafkan untuk kepentingan masjid dan untuk pengurusnya, ditunjuklah B. kemudian oleh B, kelapa yang sedah tua diturunkan dan dijual. Tetapi ternyata bahwa kebun itu telah lama dijual oleh A. menurut hukum, yang harus mengganti rugi adalah A, meskipun B yang menjual kelapa-kelapa itu.








BAB III
PENUTUP


3.1 KESIMPULAN
1. Kaidah ke-37 :
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فىِ الْمَقَاصِدِ
”Sesuatu yang ketika menjadi tujuan tidak diampuni, diampuni waktu menjadi lantaran”.
2. Kaidah ke-38 :
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
”Yang mudah tidak gugur karena yang sukar”.
3. Kaidah ke-39 :
مَالاَيَقْبَلُ التَبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِهِ
”Sesuatu yang tidak bisa di bagi itu, memilih sebagiannya sama dengan memilih seluruhnya dan menggugurkan sebagiannya berarti menggugurkan seluruhnya”.
4. Kaidah ke-40 :
إِذَااجْتَمَعَ السَبَبُ أَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِمَتِ الْمُبَاشَرَةُ
”Manakala terkumpul sebab atau tipuan dengan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan”.

3.2 SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan ini, dapat bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan umumnya bagi pembaca seluruhnya.



DAFTAR PUSTAKA


Bisri Adib M, Drs. 1977. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. Menara Kudus. Rembang.

1 komentar: