Jumat, 15 April 2011

QAWAIDUL FIQH KAIDAH KE 5 - 8


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara alamiah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap pula. Perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian adalah berlangsung atas hukum yang ditetapkan Allah SWT, sebagai sunnatullah.
Dalam kehidupan sehari-hari yang kita lakukan terkadang kita melakukannya tidak tahu hukum dan kaidahnya yang kita anggap sepele dalam kehidupan ini tak lepas dari berbagai permasalahan, untuk memecahkan persoalan-persoalan harus berdasarkan kaidah fiqih. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah SWT, yang mampu merefleksikan nilai-nilai pendidikan kaidah fiqih dan membimbing serta mengajarkan manusia, serta menjadi manusia yang sempurna.
Islam sebagai agama yang universal telah memberikan pedoman hidup manusia menuju kehidupan bahagia yang pencapaiannya tergantung pada kaidah fiqih karena kaidah fiqih ini kunci utama untuk membuka jalan kehidupan manusia.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa isi dari kaidah kelima ?
2. Apa isi dari kaidah keenam ?
3. Apa isi dari kaidah ketujuh ?
4. Apa isi dari kaidah kedelapan ?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan masalahnya ialah sebagai berikut :
1. Mengetahui isi dari kaidah kelima.
2. Mengetahui isi dari kaidah keenam.
3. Mengetahui isi dari kaidah ketujuh.
4. Mengetahui isi dari kaidah kedelapan.
BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH-KAIDAH KULLIYAH (KELIMA SAMPAI DELAPAN)

A. KAIDAH KELIMA

تَصَرُفُ الإِمَامِ عَلَى الرَعِيَةِ مَنُوْطٌ بِلْمَصْلَحَةِ
Artinya : ”Kebijakan Imam atau Kepala Negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan.”
Dasar kaidah
Dasar bagi kaidah ini adalah ucapan sahabat Umar bin Khattab yang diceritakan oleh Imam Sa’id bin Manshur, dari Abil Ahwash, dari Abi Ishaq, dari Al Barra’ bin Azib, beliau berkata : ”Sahabat Umar berkata :

إِنِى نَزَلْتُ نَفْسى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَالِى الْيَتِيْمِ ، إِنِ احْتَجْتُ – أَخَدْتُ مِنْهُ فَإِدَا أيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ ، فَإنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ .
Artinya : ”Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allah, sebagaimana kedudukan wali anak yatim ; kalau saya membutuhkan, saya ambil seperlunya saja dari harta itu, kelak apabila saya telah mampu, maka saya kembalikanlah harta yang saya ambil itu ; jika saya sudah cukup maka saya menjaga diri dari harta tersebut (sedikitpun tidak mau mengambil).”
Imam Syafi’i menegaskan bahwa kedudukan Kepala Negara terhadap rakyatnya itu bagaikan kedudukan wali terhadap anak yatim yang ada dalam perlindungannya. Jadi, jika pemerintah dalam menggunakan kekayaan Negara itu menyeleweng dari kebenaran, maka menurut hukum dilarang, sebab tidak berdasarkan kemaslahatan rakyat.
Berdasarkan kaidah ini pula, Kepala Negara atau wakilnya dalam mengambil kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata ada penguasa menetapkan seorang fasiq untuk menjadi imam shalat-pun, menurut hukum tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang tercakup dalam kaidah ini banyak sekali, misalnya : penetapan imam shalat, pengangkatan atau pemecatan karyawan, masalah nikah dengan wali hakim dan sebagainya. Kesemuanya itu harus tidak lepas dari kemaslahatan rakyat banyak.

B. KAIDAH KEENAM

... اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُبُهَاتِ ،،
Artinya : ”Tuntutan hukuman (had) itu bisa gugur karena ketidakjelasan (syubhat).”
Kaidah ini bersumber dari sabda Nabi Muhammad SAW, :
إِدْرَؤُاالْحُدُوْدَ بِالشُبُهَاتِ
Artinya : ”Tolaklah beberapa had, karena (adanya) syubhat.”
Penjelasan
Had : Adalah ”tuntunan hukum yang ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an
atau Hadist”, seperti : pencurian, perzinaan dan sebagainya. Jadi, berbeda dengan Ta’zir yang mempunyai pengertian ”tuntunan hukum yang tidak ada ditentukan dalam nash”, seperti : memasuki rumah orang lain tanpa izin, mencium istri orang, memaki orang dan sebagainya.
Syubhat : ”tidak terang” atau ”tidak jelas”. Jadi, mungkin ya dan mungkin tidak.
Catatan :
1. Syubhat itu tidak dapat menggugurkan Ta’zir, tetapi dapat menggugurkan kaffarat, misalnya : bila orang yang sedang puasa ramadhan melakukan jima’ karena lupa bahwa ia sedang berpuasa, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.
2. Syubhat yang bisa menggugurkan had atau kaffarat itu diisyaratkan harus kuat. Jika syubhat itu lemah, maka tidak dapat menggugurkan had atau kaffarat.



C. KAIDAH KETUJUH
... اَلْحُرُ لاَيَدْخُلُ تَحْتَ الْيَدِ ،،
Artinya : ”Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan (tidak dikuasai, tidak di bawah perlindungan).”

D. KAIDAH KEDELAPAN
... حَرِيْمُ الشَيْئِ بِمَنْزِلَتِهِ ،،
Artinya : ”Yang melingkupi sesuatu itu menempati tempatnya sesuatu itu.”
1. Arti hariem
Kalimat ”hariem” ada yang menterjemahkannya dengan ”pagar” atau ”emper”.
Menurut Imam Zarkasyi, hariem adalah yang meliputi haram (اَلْحَرِيْمُ : اَلْمُحِيْطُ بِالْحَرَامِ ). Jadi ”hariem” bisa diterjemahkan dengan ”yang melingkupi”, ”yang mengitari”, atau ”yang ada disekitarnya.”
2. Dasar kaidah
Kaidah ini didasarkan atas hadist yang diceritakan oleh Bukhari Muslim, yang berbunyi :
اَلْحَلاَلُ بَيِنُ وَالْحَرَامُ بَيِنُ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَ كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ فَمَنِ اتَقَى الشُبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَألِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ .
Artinya : ”Halal itu terang dan harampun terang. Diantara keduanya (ada) hal-hal yang tidak jelas yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa takut (menjaga atau tidak melakukannya) akan hal-hal yang tidak jelas (syubhat) itu, ia benar-benar telah, membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa jatuh ke dalam syubhat, berarti jatuh ke dalam haram, laksana penggembala yang mewnggembala disekitar tanah larangan, diragukan jatuh ke dalamnya (mungkin sekali dia memasuki tanah larangan tersebut).”

3. Kaidah hariem ini tidak masuk pada :
a. Wajib : melakukan yang wajib, harus pula mengerjakan apa yang menjadi
kesempurnaan wajib itu. misalnya : membasuh muka dalam wudlu adalah wajib. Demikian juga, wajib membasuh sedikit dari yang mengitari muka.
b. Makruh : misalnya : tidak menutup lutut sebagai batas aurat laki-laki
sebelah bawah, hukumnya makruh. Dan makruh pula, membiarkan terbukanya sedikit ke bawah dari lutut.
c. Haram : misalnya : menurut Imam Syafi’i qubul dan dubur sebagai aurat
kubra (aurat besar) haram kalau sampai terbuka. Demikian pula pantat, paha dan sebagainya yang ada disekitar qubul dan dubur. Sebab itu, ulama fiqih menerangkan bahwa aurat laki-laki itu adalah antara pusar dan lutut, hanya saja qubul dan dubur disebut aurat kubra, sedangkan yang lain disebut aurat shugro (aurat kecil).
4. Beberapa ketentuan tentang hariem :
a. Hariem bagi sebidang tanah mati yang dihidupkan menjadi milik orang yang menghidupkan, misalnya ditengah-tengah tanah mati, seorang membuat sumur, maka menurut sumurpun menjadi miliknya pula. Jadi andaikata dikemudian hari, ada orang lain yang menghidupkan tanah mati itu --di buat sawah seumpamanya-- tanah sekitar sumur tetap menjadi kepunyaan orang pertama (pembuat sumur), meskipun seandainya tanah sekitar sumur itu ikut digarap oleh orang yang datang kemudian.
b. Hariem bagi masjid, hukumnya sama dengan masjid, karena sah i’tikaf disekitar masjid dan bagi orang yang sedang junub atau haidl, haram hukumnya menetap disekitar masjid. Demikian menurut Imam Jalal Suyuthi. Sementara itu, Asy Syaikh ibn Hajar berpendapat, bahwa hariem masjid, hukumnya tidak sama dengan masjid.
Rahbah (serambi masjid, yakni bagian bangunan yang menempel pada masjid dan didirikan karena adanya masjid) juga diperselisihkan. Ada yang menghukumi tidak seperti masjid dan ada yang mengatakan bahwa rabbah itu termasuk sebagian dari masjid. Pendapat yang terakhir inilah yang dipegangi kebanyakan ulama.

BAB III
PENUTUP

1. Kaidah kelima : Kebijakan Imam atau Kepala Negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan.
Masalah yang tercakup dalam kaidah ini banyak sekali, misalnya : penetapan imam shalat, pengangkatan atau pemecatan karyawan, masalah nikah dengan wali hakim dan sebagainya. Kesemuanya itu harus tidak lepas dari kemaslahatan rakyat banyak.
2. Kaidah keenam : Tuntutan hukuman (had) itu bisa gugur karena ketidakjelasan (syubhat).
3. Kaidah ketujuh : Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan (tidak dikuasai, tidak di bawah perlindungan).
4. Kaidah kedelapan : Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan (tidak dikuasai, tidak di bawah perlindungan).



DAFTAR PUSTAKA



Bisri Adib M, Drs. 1977. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. Menara Kudus. Rembang.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, Ustadz, mohon ridhonya, makalah QAWAID semua saya KOPAS, semoga menjadi ilmu manfaat

    BalasHapus