Senin, 18 September 2017

SISI LAIN TENTANG PILKADA NGANJUK

SISI LAIN TENTANG PILKADA NGANJUK
Oleh: Riki Sugianto

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Pilkada khususnya di Kabupaten Nganjuk masih akan diselenggarakan tahun depan yaitu pada tahun 2018. Namun suasana/keramaian pesta demokrasi itu sudah bisa kita rasakan kemeriahannya mulai dari sekarang, dari begitu banyak nya banner para calon kepala daerah sampai keramaian di media sosial. Banyak kandidat/calon kepala daerah yang maju berasal dari latar belakang yang berbeda, baik dari pengusaha, kontraktor bahkan ada juga yang sekarang masih aktif menjabat sebagai anggota dewan yang terhormat. Janji-janji manis sudah pasti mereka tebarkan kesana kemari, tim sukses pun hampir setiap harinya dari pagi sampai malam berkeliling ke semua penjuru untuk mensosialisasikan calon yang diusungnya.

Dari sini muncul berbagai reaksi akan terselenggaranya pilkada di Nganjuk ini, baik aksi secara langsung maupun melalui media sosial. Seperti contoh relawan anti ITA_itu atau lebih dikenal dengan salam lima jarinya, relawan yang bergerak dan menyuarakan untuk menolak pemimpin yang korupsi dan sewenang-wenang, gerakan yang menginginkan pemimpin yang pro dengan rakyat dan mengerti solusi akan setiap permasalahan yang di hadapi rakyat. Ada lagi dan ini lucu menurut penulis, Pilkada dijadikan pula ajang unjuk diri bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai konsultan pilkada (baca: dukun) yang secara terang-terangan mempromosikan dirinya yang “katanya” mampu membaca peluang menang dan kalahnya calon pada pertarungan pilkada nanti. Luar biasa anehnya bukan!

Sahabat penulis yang istimewa, perlu diketahui setidaknya ada dua paradigma yang melekat dalam diri masyarakat mengenai pemimpin yang akan maju dalam pilkada.

Yang Pertama: MENCOBLOS YANG MEMBERI UANG LEBIH BANYAK

Mohon maaf sahabat, sepertinya memang masih banyak masyarakat kita yang masih mempunyai pemikiran seperti ini, ya... mungkin sikap seperti ini juga tidak bisa di salahkan sepenuhnya pada masyarakat, menurut hemat penulis sikap seperti ini adalah wujud kekecewaan masyarakat terhadap apa yang mereka dapat dari pemimpin yang sudah-sudah.

Masyarakat beranggapan siapapun yang kelak menjadi pemimpin itu tidak akan merubah hidup mereka, mereka akan tetap hidup seperti ini dan ini saja. Bagi mereka uang sebaran yang diberikan waktu pilkada merupakan angin segar bagi mereka, dengan dalih “mumpung“.

Entah darimana dan siapa yang memulainya, keadaan seperti ini seolah sudah menjadi hal yang wajar terjadi. Ada istilah yang berkembang di masyarakat “ada uang ada suara“ juga “ambil uangnya jangan pilih orangnya“. Kemudian pertanyaannya adalah apakah sebegitu kecewa dan tidak percayakah masyarakat terhadap pemimpinnya?

Yang Kedua: PEMIMPIN LUPA AKAN JANJINYA

Tidak heran, ungkapan seperti ini terucap dari masyarakat akibat dari sebuah kekecewaan, dimana mereka menilai janji manis yang mereka ucapkan sewaktu kampanye akan dilupakan seriring menjabatnya ia menjadi pemimpin nanti. Calon yang dulunya ramah terhadap masyarakat, memberi santunan kepada anak yatim dan jompo juga “blusukan” ke pelosok desa untuk jajah pendapat seolah sirna dan hilang begitu saja. Apa ini yang dinamakan pencitraan? Ah sudahlah...

Sahabat penulis dimanapun berada, apapun hasilnya nanti, siapapun nanti yang akan memimpin Nganjuk asalkan tidak korupsi dan ITA_itu mari kita dukung semua program-programnya. Terkhusus untuk para pendukung para calon yang kalah mari bersatu kembali menjadi kesatuan yang utuh demi Nganjuk yang istimewa. Lupakan masa-masa bersaing dalam penjaringan suara yang sudah lewat.
Dan terkahir besar harapan penulis, pemimpin yang akan memimpin Nganjuk ke depan adalah pemimpin yang benar-benar menjadi pemimpin, yang selalu siap untuk semua masyarakat nya tanpa memandang antara si a dan si b. Karena 5 tahun ke depan harapan kami ada di pundak anda. Terimakasih semoga kita selalu dalam lindunganNya. Aamiin.

Salam......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar