BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti
yang kita ketahui bersama, bahwa wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat
selama beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument zakat
profesi di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta). Dengan munculnya
zakat profesi ini memunculkan banyak perbincangan. Mereka yang menentang
penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak
pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang
diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah
sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut.
Zakat
profesi itu sendiri merupakan zakat yang dikeluarkan dari penghasilan
profesi atau hasil profesi bila telah sampai
pada nisabnya. Zakat
profesi memang belum dikenal
dalam khazanah keilmuan Islam, jadi banyak diperdebatkan.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pengertian zakat profesi, profesi apa yang harus dizakati dan ketentuan dalam
zakat profesi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa pengertian dari zakat profesi?
2. Apa saja profesi yang dizakati?
3. Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam zakat profesi?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasannya adalah:
1. Untuk memahami pengertian dari zakat profesi
2. Untuk memahami profesi apa saja yang harus dizakati
3. Untuk memahami ketentuan-ketentuan dari zakat profesi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zakat Profesi
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi
( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau
hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian,
peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal
di masa generasi terdahulu.
Oleh karena
itu, pembahasan mengenai tipe
zakat profesi belum dapat
dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain.
Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena
zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang
memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Setiap
penghasilan, apapun jenis profesi yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut
diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Hal tersebut didasarkan
pada firman Allah SWT QS.
Al-Baqarah ayat 267
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Disamping itu berdasarkan tujuan disyari’atkannya zakat,
seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta serat menolong para
mustahik, zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan yang merupakan ciri utama
ajaran islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan.
B. Profesi yang Di Zakati
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada
zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya.
Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.
Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang
lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan
cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.[1]
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik
pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang
diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari
pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila
sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai
sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang
di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut
memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena
hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi
ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan
sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut
ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang –
untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir
lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena
kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat
dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa
jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus
terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam
mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas
siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja
profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.[2]
Mengenai besar zakat, Penghasilan dan profesi dalam
fikih masalah khusus mengenai penyewaan. Seseorang yang menyewakan rumahnya dan
mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib
mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu
pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya
bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan
lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai
nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan
tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan
nisab yang telah berumur setahun.
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang,
adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua
belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun
atau akhir tahun.
Pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan
profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya yaitu kekayaan yang
diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat
agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia
adalah "harta penghasilan." Sekelompok sahabat berpendapat bahwa
kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun.
Yang diperlukan zaman sekarang ini adalah menemukan
hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat hal-hal
penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan
kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan"
tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya,
yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu, mengalami
perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka
perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu
karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki
satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya
bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan
hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib
zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga
seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang
yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu
juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan
dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang jelas pendapat tersebut diatas adalah pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih
itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib
zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
C. Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi
Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak
pernah ada seorang 'ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini,
kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya,
kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar'i)
oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab,
kadar, dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas
(analogi) yang dilakukan :
Yang pertama, Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab,
kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas
dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah
dikurangi kebutuhan pokok. Cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan
Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp
3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp
2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
Yang kedua, Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya
senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5
% dan dikeluarkan pada setiap
mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya
contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00
atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
Yang ketiga,
Jika dianalogikan pada zakat rikaz,
maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[3] Cara
menghitungnya contoh kasus di atas, maka
si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar
Rp 1.000.000,00 setiap bulan.
Mengenai waktu pengeluaran
zakat profesi ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
- Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
- Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
- Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter,
aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya
2. Profesi yang dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat
kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan seseorang buat pihak
lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah,
yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya
3. Ketentuan-ketentuan zakat profesi adalah ditentukan batas
minimal nishab dan harus menjalani haul (putaran satu tahun)
DAFTAR PUSTAKA
Hafiuddin,
Didin Zakat Infaq Sedekah, Gema Insani Press: Jakarta, 1999
Daradjat,
Zakiah. Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, CV. Puhama: Jakarta, 1996
Al Juhairi, Wahab.
Zakat Kajian Berbagai Madzhab, PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995
mantapks
BalasHapus