Jumat, 15 April 2011

FILSAFAT ISLAM ILLUMINASI


FILSAFAT ILLUMINASI
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pembimbing:
Drs. Amirudin, M.Ag

S1/ SMT II A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri.
Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-Alam Al-Mitsâli). Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan.
Pada setiap diri (pribadi) sudah mempunyai potensi “olah dabadi” (al Khamirat al Azaliyyah) yaitu kebijaksanaan abadi (sophia perennis). Potensi itu oleh Allah Azza wa Jalla sudah ditaruh secara naluri –tersamar—dalam diri setiap insan, yang siap diolah dan diaktualisasikan melalui latihan intelektual dan penyucian hati.Para filosof seperti Pythagoras dan Plato mereka mengaktualisasikan dan mentransforrmasikan kepada seorang sufi kenamaan bernama Dzunnun al Misr dan Sahl al Tausi.
Prinsip dasar pengetahuan Iluminasionis adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”. Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut seorang yang hendak menjadi filosof harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dan dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat Suhrawardî menetapkan tiga tahapan persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman-pengalaman suprarasional.
Pada tahapan awal, ditandai dengan kegiatan persiapan para filosof dalam menapaki dimensi-dimensi iluminasi. Dengan demikian langkah yang harus ditempuh adalah meninggalkan kehidupan dunia, melakukan uzlah selama empat puluh hari, puasa (tidak makan yang bernyawa) dan aktivitas lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk menerima ilham dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas Cahaya Murni serata mengenal kebenaran intuisinya sendiri.
Tahapan kedua disebut tahapan pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya Cahaya Ilahi ke dalam wujud manusia (subjek). Dalam proses ini Cahaya Ilahi mengambil peran penting sebagai Pondasi dasar pembangun ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran.
Adapun tahapan ketiga adalah tahapan konstuksi (perolehan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tak terbatas. Dalam tahapan ini subjek telah dikatakan sebagai filosof Ilumisasi yang mencapai tingkatan “melihat” Cahaya Ilahi, dan mengajarkannya secara langsung tanpa perantara ilham dan wahyu. Dan tahapan ini disempurnakan dengan pendemostrasian Aristotelian dengan menggerakan data-data indrawi (yang di lihat) kepada akal sebagai pusat pengetahuan ilmiah diskursif.
Sedangkan tahapan terakhir adalah pendokumentasian pengalaman-pengalaman visioner ke dalam tulisan, adanya tahapan ini sebagai antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang lama. Sehingga tulisan tentang perasaan itu lebih terwakili oleh syair dan pusi-puisi karena daya hayal dan pengungkapannya lebih menjiwai.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses munculnya Filsafat Illuminasi?
2. Apa dasar-dasar Filsafat Illuminasi?
3. Bagaimana struktur dan metode yang digunakan dalam filsafat illuminasi?
4. Bagaimana epistimilogi filsafat illuminasi?
3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengeutahi proses munculnya Filsafat Illuminasi?
2. Untuk mengetahui dasar-dasar Filsafat Illuminasi?
3. Untuk mengetahui struktur dan metode yang digunakan dalam filsafat illuminasi?
4. Untuk mengetahui epistimilogi filsafat illuminasi?



BAB II
FILSAFAT ILLUMINASI

A. Kemunculan Filsafat Iluminasi
Dari sudut pandang tekstualis, kemunculan filsafat Iluminasi (Isyraq) dimulai dalam buku Al-Talwihat. Buku tersebut memaparkan later belakang, visi-misi, aturan, kaidah, serta argumen-argumen dasar yang menjadi landasan filsafat Iluminasi. Semuanya dipaparkan begitu jelas, dan dengan argumen demonstratif Suhrawardî menceritakan sebuah kisah fiktif yang memuat mimpinya bersama Aristoteles, yang—dengan raut sedih—mengutarakan rasa kekecewaannya pada kelompok Peripatetik Muslim yang dipelopori oleh Ibnu Sina, karena di anggap gagal mencapai visi-misi filosofis ketimuran, dan meraih tingkat kebijaksanaan diri, pengejawantahan sendi-sendi kebenarannya dalam tatanan praktis seperti yang lakukan pembesar-pembesar sufi, Abu Yazid Al-Bustami dan Halaj.
Kegagalan kelompok Peripatetik diakibatkan permasalahan yang sangat fundamental (Asasi), yang berakhir pada konklusi yang berbeda. Kaum Peripatetik selalu membatasi kebenaran pada limit dan nilai-nilai demonstratif, yang akhirnya membelenggu mereka pada lingkaran teoretis saja. Sedangkan kelompok sufi melandasi pengetahuannya pada pemahaman “akan-diri-sendiri” (bi ma`rifati nafsihi) yang diperoleh melaui sensitifitas jiwa dengan mengikis sifat-sifat kotor yang menyelimuti cahaya hati, dan proses penambahan intensitas[cahaya]nya dengan merasakan kehadiran zat supraraional yang membiming hati pada jalan yang terang. Jenis pengetahuan seperti ini mereka kenal dengan “pengetahuan melalui Iluminasi dan kehadiran”. Modus asketik kaum sufistik berhasil mengangkat meraka terbang mencapai kesatuan bersama Intelek Aktif (Al-Aql Al-Faâl) dan melampaui capaian-capaian filsafat diskursif, dan lagi-lagi fantasi itu hanya ditempuh dengan menyandarkan diri pada pengalaman-pengalaman spiritual mistik. Walhasil, kebenaran-kebenaran yang diraih dapat dengan mudah diejawantahkan dalam tatanan praktis, menebarkan kebijkasanaan-kebijaksanan seperti halnya para filosof, nabi dan para imam.
Mengenai pengetahuan mistik Iluminatif, ia tidak memarginalkan demonstrasi akal—seperti yang diceritakan sarjana-sarjana Timur modern—, hanya saja modus kontemplasi pada kekuatan imajenasi dan intuisi, pelepasan jiwa dari kerendahan jasad, lebih menjadi prioritas menempuh pengetahuan metafisik, tapi setelah itu ditemukan argumen-argumen filosofis diskursif memainkan perannya dan melakukan penalaran layaknya kaum Peripatetik Muslim.
B. Dasar-Dasar Filsafat Illuminasi
Madzab Al-Isyraqi mempercayai konsep bahwa al-imkan bila benar-benar terjadi maka al-imkan al-asyrof adalah yang harus terjadi terlebih dahulu. Kaidah sederhana ini berarti bahwa far’ jika benar-benar terjadi maka asal harus lebih dulu terjadi. Artinya: jika ada sesuatu yang lebih rendah derajatnya, maka eksistensinya tergantung pada sesuatu yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah ini terkenal dengan qo’idah al-imkan wa al-asyrof.
Al-Isyraq (al-qohr) dan al-Musyahadah (al-mahabbah) merupakan dua fiil atau aktivitas. Yang pertama mengambil arah menurun, sedangkan yang kedua mengambil arah naik. Syarat Al-Isyraq adalah tidak adanya hijab antara musyriq dan qobil benar-benar mampu menerima al-Isyraq. Sedangkan syarat al-Musyahadah adalah tidak adanya hijab sekaligus adanya kemampuan dari kedua belah pihak.
Kaidah terpenting dari madzhab Al-Isyraqi adalah al-fi’l dan al-ibda’. Al-Fi’l menurut pemahaman umum wajib mengandung ketiadaan masa lampau (sabaq al-‘adam), yakni bahwa tidak mungkin menggambarkan adanya kejadian yang baru (huduts hadits) tanpa ketiadaan masa lampau (sabaq al-‘adam). Jika hal itu memungkinkan, sama saja dengan mengaku bahwa fi’il bukan hadits. Namun, sebenarnya al-‘adam bukan termasuk fi’ilnya pelaku. Karena al-‘adam sudah mendahului fi’l. Sementara al-ibda’ adalah mengadakan sesuatu tanpa adanya “sketsa atau contoh” yang sudah ada, namun sesuai kehendak (irodah) sang Mubdi’ dan ‘inayahNya. Jika demikian, maka konsep ini kontradiktif dengan konsep ibda’ milik Platonisme yang berstatemen bahwa sang Shani’ mengandung rancangan-rancangan azali (al-namadzij al-azaliyyah). Juga kontradiktif dengan Rasionalisme yang memastikan konsep sabab-musabbab
C. Struktur dan Metode Filsafat Iluminasi
Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri. Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-Âlam Al-Mitsâli). Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan.
Sebuah statemen yang mungkin membingungkan, tapi akan mudah dimengerti manakala kita memahami konsep “pengetahuan” yang diimani para sufi dan penganut Platonisme. Pengetahuan terbagi dalam dua bentuknya; materil dan imateril, rasional dan irasional, fisika dan metafisika. Dikotomi yang saling bertentangan, tapi setiap bentuk memiliki kesamaan yang hampir serupa dengan bentuknya yang lain, yaitu; antara materil, rasional dan fisika, dan begitupun antara imateril, irasional dan metafisika. Kelompok pertama lazim ditempuh dengan memaksimalkan bagian manusia yang disebut dengan akal atau intelek, yang terletak di luar jiwa (nafs) dan jasad. Pengetahuan ini dihasilkan dengan memahami fenomena alam yang terjadi di jagat raya, dengan melihat arah perubahan dan menemukan sumber penyebabnya, dengan demikian kongklusinya biasa disebut sebagai pengetahuan rasional atau diskursif.
Sedang yang kedua, pengetahuan suprarasional yang berada di luar arena pengetahuan pertama, sistem yang digunankan adalah “memahami-akan-diri-sendiri” sebagai sumber pemahaman yang lebih mendalam selanjutnya. Modus ini meniscayakan manifestasi ungkapan Plato yang seirama dengan diktum Al-Quran yang menyatakan bahwa “Siapa saja yang memahami dirinya, ia akan mengetahui Tuhannya”. Sebuah teks filosofis yang mensiratkan pesan, bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendiri adalah ladasan segala pengetahuan (yang) trensenden. Lebih jelasnya, pengetahuan jiwa tentang dirinya sendiri diibaratkan pantulan cahaya (yang dimaksud; pengetahuan) abstrak yang berasal dari Sumber Cahaya (Wujud Cahaya Agung) yang merambat dengan sendirinya begitu [sumber cayaha] itu menyala, yang tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak terputus-putus. Begutupun Pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri menjadi “kunci” kaum Iluminasionis mendapatkan pengetahuan melalui “kehadiran” (Al-`Ilm Al-Hudhuri).
Selain pengetahuan ruh tentang dirinya-sendiri, struktur filsafat Iluminasi juga kerap menggunakan dimensi-dimensi imagenalis dengan porsi yang cukup besar. Sehingga sebelum memasuki epistemologinya merupakan hal yang sangat urgen memahami komponen-komponen dasar pembangun pikiran-pikiran mistik. Pemahaman itu dimulai dengan mendefinisikan arti penting trilogi kaidah Iluminasionis; imajinasi, intuisi, dan imitasi, yang secara gneologis memiliki cara pandang bebeda dengan kelompok Peripatetik Timur maupun Barat (Yunani).
Imajinasi (Al-Khayâlah) dalam pandangan kaum Iluminasionis adalah daya penyimpan dan penyeimbang jiwa, yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap (dari indra), juga pengontrolan atas citra dengan menyusun dan menguraikannya kembali, untuk kemudian dipotensikan membentuk citra yang baru. Proses ini menjadi dasar penataran membentuk jiwa-jiwa sensitif, yang merasakan wujud-wujud benda non-sensible (tidak terindra) dan yang tidak berwujud.
Tapi tidak semua sensitifitas jiwa yang digambarkan imagenasi, memiliki kongklusi wujud yang sesuai dengan kenyataannya, adakalanya penggambaran citra terkontaminasi oleh emosi, rasa takut atau gembria yang terbawa dari alam nyata, sehingga citra yang tergambarkan tidaklah murni. Dan imajenasi yang demikian dinamakan imajenasi palsu, karena memberikan konkusi berbeda dengan substansi sesungguhnya, adapun imajenasi murni adalah perasaan “cerah” yang dirasakan jiwa yang suci, yang telepas dari ketergantungannya pada dunia materi, sehingga ia tampak berseri-seri karena cahaya Ilahi telah memacar dalam hati.
Adapun kekuatan intuisi memiliki peran yang sama dengan daya imajenasi, bahkan dikutip oleh Dr. Husain Ghilâm Dinanî dalam Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd fi Falasafah Al-Suhrawardî, bahwa keduanya bekerja besamaan dalam proses kontemplasi, berkhayal, dan penjelajahan realitas-realitas suprarasional.
Lain halnya dengan daya imitasi yang merupakan kontinuitas potensi imajenasi. Ia mewakili kemampuan subjek menggambarkan realitas-realitas suprarasional melalui citra-citra lain, yang berbeda dengan substansi awal. Penggambaran realitas intelijebel pun bisa juga dipraktekan dalam area sensible (indrawi), sehingga memperluas jangkauannya, yang mungkin menyentuh penggambaran temperamental, emosi dan kebutuhan-kebutuhan tubuh, serta eksistensi benda non-sensible —dimaksud di sini; semua benda wujud, tak terlihat—disekitar kita, seperti bentuk udara, cahaya, panas, dan mahluk-mahluk halus.
Setelah memahami dan mengerti fungsi masing-masing komponen serta perngaruhnya dalam sturktur epistemologi filasafat Iluminasi, penjelajahan dilanjutkan dengan meniti jenis-jenis metode yang menyusun pemikiran Iluminasi. Telah singgung sebelumnya pada pernyataan Mullâ Shadrâ, bahwa “filsafat Iluminasi menapaki (trend) filsafat Timur, juga penghidup simbol-simbol Persia kuno Pada teori (hakitat) Cahaya dan Kegelapan”, ungkapan ini akan menjadi landasan dalam meneliti pemakaian simbolisme cahaya sebagai penyibak rahasia ontologis dan struktur- struktur kosmologis.
D. Epistemologi Filsafat Iluminasi
Dalam pembahasan utama ini, kiranya perlu tekankan bahwa prinsip dasar pengetahuan Iluminasionis adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”.
Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut seorang yang hendak menjadi filosof harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dan dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat Suhrawardî menetapkan tiga tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman-pengalaman suprarasional.
Pada tahapan awal, ditandai dengan kegiatan persiapan para filosof dalam menapaki dimensi-dimensi iluminasi. Dengan demikian langkah yang harus ditempuh adalah meninggalkan kehidupan dunia, melakukan uzlah selama empat puluh hari, puasa, “ngerowot” (tidak makan yang bernyawa) dan aktivitas lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk menerima ilham dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas Cahaya Murni serata mengenal kebenaran intuisinya sendiri.
Tahapan kedua disebut tahapan pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya Cahaya Ilahi ke dalam wujud manusia (subjek). Dalam proses ini Cahaya Ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi dasar pembangun ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran.
Adapun tahapan ketiga adalah tahapan konstuksi (perolehan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tak terbatas. Dalam tahapan ini subjek telah dikatakan sebagai filosof Ilumisasi yang mencapai tingkatan “melihat” Cahaya Ilahi, dan mengajarkannya secara langsung tanpa perantara ilham dan wahyu. Dan tahapan ini disempurnakan dengan pendemostrasian Aristotelian dengan menggerakan data-data indrawi (yang di lihat) kepada akal sebagai pusat pengetahuan ilmiah diskursif.
Sedangkan tahapan terakhir adalah pendokumentasian pengalaman-pengalaman visioner ke dalam tulisan, adanya tahapan ini sebagai antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang lama. Sehingga tulisan tentang perasaan itu lebih terwakili oleh syair dan pusi-puisi karena daya hayal dan pengungkapannya lebih menjiwai.
Dan dalam pemaparan epistemologis filsafat Iluminasi, penulis hanya memaparkan bagian-bagian penting, yang sekiranya mempunyai peran dalam pembentukan pemikiran Iluminatif. Dan epistemologi itu dimulai bermuara pada tiga teori; pemahaman hakikat Cahaya dan sifat-sifatnya, teori Cahaya dari segala cahaya (Nur Al-Anwar), dan yang terakhir proses penciptaan semesta berdasarka kaidah Isyraq.

1. Hakikat Cahaya Murni (Wujud Cahaya Agung) dan sifat-sifatNya
Dalam buku Hikmah Al-Isyraq, tepatnya dalam pembahasan macam-macam cahaya, guru besar Iluminasi (Suhrawardi) beranggapan bahwa Cahaya Murni dengan C besar merupakan suatu hakikat, yang nyata dan aksiomatik, tidak memerlukan penjelasan dan definisi. Cahaya adalah sesutau yang terang, gamlang, yang eksistensinya dibutuhkan oleh benda-benda yang menyusun eksistensi alam semesta; cahaya tidak murni, substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap, sehingga tidak ada cahaya yang lebih terang kecuali Cahaya itu sendiri. Dan yang di maksud dengan Cahaya-dengan C besar-yang tidak memerlukan definisi, adalah Cahaya Murni, yang menjadi sebab wujud setiap eksistensi di alam semesta ini. Dan eksistensinya tidak bergantung pada wujud yang lain.
Sebagaimana lazimnya cahaya selalu tampak jelas dan terang, baik dalam hakikat ataupun zatnya. Dan secara esensial, ia selalu memberikan penerangan (pancaran) bagi yang lainnya, kejelasan dan keterangan cahaya memanglah bersifat sesensial, dan ini juga mebuktika bahwa cahaya (esensi) itu lebih terang, daripada sesuatu yang becahaya tapi sifat terangnya bersifat non-esensial.
Begitupun kehadiran cahaya-cahaya yang tidak murni, mereka bukanlah sederetan sifat tambahan pada zatnya. Cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersembunyi dan juga tidak tampak, bahkan terkadang terang dan kehadirannya bersifat non-esensial.
Hakikat Cahaya Murni murni adalah tidak dapat diindra, tidak bisa di tunjuk, tidak memiliki arah, dan sebaliknya setiap cahaya yang sensibel adalah cayaha tak murni.
Cahaya murni memancar untuk dirinya sendiri (linafsihi), tidak bergantung kepada yang lain dan beridi dengan substansinya sendiri. Cahaya tak murni adalah cahaya yang bukan bercahaya dari dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaanya tidaklah mandiri, ia selalu membutuh pada wujud dan realitas yang lain. Dan ketiadaan wujud yang lainpun meniscayakan ketiadaan cahayanya.
Cahaya Murni memiliki pengetahian dan mengetahui zatnya sendiri. Dan pengetahuan Cahaya Murni pada wujud dan zatnya bersifat hudhuri (hadir secara langsung), bukan dengan husuli (melalui penggambaran pikiran) karena pengetahuan cahaya pada zatnya sendiri yang dihasilkan melaui gambaran, senantiasa berada di luar (zat) subjek. Karena dalam kenyataannya, objek yang dipahami hanyalah gambaran daro zat bukanlah esensi asli yang mewujud dalam zat.
Sifat Cahaya Murni yang mengetahui zatnya sendiri, menandakan ia hidup, berpengetahuan dan memiliki aktivitas. Adapun benda gelap, substansi, dan aksiden-aksiden gelap lainnya, mereka diam dan tidak memiliki pengetahuan pada zatnya sendiri, karena mereka memiliki kebergantungan pada wujud yang lain, dan kediamannya meniscayakan tidaadanya pengetahuan dan aktivitas (diam).
Cahaya Murni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, dijabarkan oleh Suhrawardi dalam satu perumpamaan sederhana yang mengangkat eksistensi A sebagai penyebab keberadaan, dan pengetahuan bagi eksistensi B. Dengan demikian, mejadi sebuah keharusan, bahwa A mengtahui dirinya sendiri dan mengetahui segala eksistensi dan wujud-wujud B. Sedangkan B tidak bisa menghasilkan penetahuan akan dari dirinya sendiri karena esensinya bergantung pada eksistensi A, yang menjadi sebab keberadaannya.
Berdasarkan substansinya tidak ada satu faktor pun yang dapat mengubah suatu hakikat yang memiliki pengetahian atas zatnya sendiri, menjadi hakikat yang tidak mengaetahui dirinya sendiri. dan begitupun tidak ada satupun faktor yang dapat merubah posisinya menjadi realitas yang tak berilmu menjadi hakikat yang mengetahui dirinya sendiri. Tapi apakah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan pada dirinya sendiri menjadi esensial yang berpengetahuan? Hal itu mungkin dan jika pengetahuan yang dimiliki Cahaya Murnii dihadirkan dalam esensinya.
2. Nur al-Anwar (Cahaya segala cahaya)
Perbedaan cahaya-cahaya murni adalah sifat gradasional, yaitu tingkatan masing-maing cahaya. Semua cahaya-cahaya murni dipandang dari zat dan hakikatnya adalah satu. Perbedaannya hanya terdiri dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, yang ada di luar zat. Karena jika perbedaan itu terletak pada zat, maka setiap dari cahaya-cahaya itu akan tersusun dari dua deferensia yang saling bertentangan, dan ini akan merujuk pada dualisme wujud cahaya, yaitu gelap dan terang. Sedangkan dualisme dalam satu zat yang sama adalah hal yang mustahil.
Nur Al-Anwar tidak terdapat perbedaan antara zat dan hakikatnya, keduanya adalah satu dan bukan unsur yang berlainan, bahkan bertentangan (cahaya dan kegelapan).
Wujud Cahaya di atas cahaya, adalah sebuah keniscayaan dan dapat dibuktikan dengan penalaran pada ungkapan logis, “jikalau Cahaya Murni itu begantung pada realitas yang lain, maka kebutuhannya memuat ia menjaid substansi gelap atau benda tak hidup (karean ia butuh pada wujud yang lain), dan jikalau ia benda gelap maka ia membutuhka pada Cahaya Murni, yang lain. Sedangkan perputaran hukum penciptaan pada rantai yang tak terhingga adalah mustahil terjadi. Dan karena ketakterhinggaan adalah mustahil maka sebab keberadaan Cahaya Murni harusla ada dan cahaya ini tidak lain adalah Cahaya segala cahaya (Nur Al-Anwar).
Kebutuhan setiap eksistensi pada faktor pencipta, menetapkan sifat kemanunggalannya (Cahaya segala cahaya). Karena jikalau terdapat dua Cahaya Murni yang tak saling membutuhkan adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikatnya sama, dan kesamaan kepribadian keduanya mustahil menjadi penyebab perbedaan cahaya-cahaya yang ada.
3. Proses penciptaan (semesta) berdasarkan kaidah Isyraq
Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa “Zat manunggal hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal”. Nur Al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu Cahaya murni yang juga memiliki sifat yang sama dengan Nur Al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur Al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur Al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur Al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta.
Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni-pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya murni pertama ini, seperti Nur Al-Anwar dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu meneruma pancaran cahaya Nur Al-Anwar dan memancarkan CahayaNya kembali dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.
Sang guru besar (Suhrawardi) menjelaskannya dalam satu contoh sedrhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur Al-Anwar pada Cahaya Murni-pertama. Nur Al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan tertampi dalam sebuah cermin yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuannya.
Proses menerima dan memancarkan cahaya, terus diulangi Suhrawardî sebagai proses penciptaan alam semesta, dan keberadaan cahaya-cahaya murni yang mengelilinginya. Dan proses pemancaran dari setiap Cahaya Murni, selalu disertai oleh materi-materi yang menjadi susunan dalam tatanan cosmos. Seperti pemancaran Cahaya Murni-kedua pada cahaya murni ketiga disertai dengan bola-bola langit yang bersesuaian dengannya, yaitu langit pertama. Dan akhir dari proses emanasional adalah dunia sublanatural yang terletak di bawah alam bulan, tempat hidupnya manusia dan mahluk-mahluk lain yang juga menerima pancaran dari Cahaya Murni-kesepuluh.
Proses emanasi dari Cahaya Nur Al-Anwar ke materi-materi yang ada di alam semesta, adalah pengerucutan cahaya dari bentuknya yang supra-kemilau ke dalam bentuk parsial sesuai kemamuan penerimannya. Dan inilah bukti kebenaran ungkapkan Ibnu Sina saat mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah bentuk sesempurnaan Cahaya Al-Wujud, namun ia akan menjelma sebagaimana seseorang menangkap pancaran cahayanya. Subjek yang berjiwa rendah, akan mengatakan Muhammad layaknya manusia biasa. Adapun bagi subjek yang memiliki jiwa yang sedikit bercahaya, akan mendapatkan kebijakan-kebijaannya dalam jumlah yang terbagas. Sedangkan bagi subjek yang mempunyai jiwa yang tercerahkan akan merasakan pancaran yang begitu sempurna dari diri Muhammad, karena ia adalah “sebentuk dari kesempurnaan zat yang Maha Sempurna”.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat di simpulkan bahwa:
1. Prinsip dasar pengetahuan Iluminasi adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”.
2. Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri.
3. Epistemologi illuminaasi bermuara pada tiga teori, yaitu pemahaman hakikat Cahaya dan sifat-sifatnya, teori Cahaya dari segala cahaya (Nur Al-Anwar), dan yang terakhir proses penciptaan semesta berdasarka kaidah Isyraq.


DAFTAR PUSTAKA

1. Mahredad Mahren, Falsafah Al-Syarq. opcit
2. Sayed Hosen Nasr & Oliver Lehman, 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Ilsam, Bandung. Mizan.
3. Ghilam Husein El-Ibrahem El-Dinani.2005. Isyraq Al-Fikr wa Al-Syuhud Fi Falsafah Al-Suhrawardî, Dar El-Hadi, Beirut
4. Moh Ali Abû Rayân, Târîkh Al-Fikr Al-Falsafî fî Al-Islâm, opcit.
5. Pujian Al-Jami.2003. Falsafah Al-Syarq, Maglis A`la li Tsaqâfah, Kairo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar