Kamis, 05 Mei 2011

KONSEP IMAM EMPAT MADZAB


KONSEP IMAM EMPAT MADZHAB
( Al Hanafy, Al Maliky, Asy Syafi'i, dan Al Hanbali)

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Filsafat Islam

Dosen Pembina: Drs. Amiruddin, M. Pd. I


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM "MIFTAHUL 'ULA"
(STAIM)
JURUSAN TARBIYAH, PRODI S-1 PAI
NGLAWAK-KERTOSONO
Mei, 2009
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Islam, sebuah agama dan sebuah fenomena yang tak dapat diingkari keberdaannya di dunia ini, sebab itu pula Islam menjadi bahan pembicaraan di sana-sini bahkan untuk orang yang bukan Islam sendiri. Islam mengandung banyak ajaran di dalamnya baik yang berupa eksplisit maupun yang implisit. Betapapun hal itu tidak akan mengurangi kualitas Islam dan kemegahan Islam sebagai agama yang universal, tak terbatas zaman, dan agama yang hak, bukan yang lain.
Meskipun begitu tidak semua orang dapat memahami teks dan ayat yang tersirat dari dua pokok pegangan Islam yakni Al Qur'an dan As Sunnah. Oleh karena itu terdapat banyak cara untuk mengetahuinya, diantaranya melalui dalil-dalil akal, yang dalam hal ini adalah kalam dan filsafat, walau keduanya tampak berbeda pada hasil dan metodenya, namun keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencari sebuah kebenaran yang hakiki.
Pada penekanan ritual ibadah, baik yang vertikal atau horisontal sesama makhluk, terdapat ilmu yurispodensi (fiqh),. Dari situlah lahir imam-imam agung panutan ummat, yang terbesar adalah madzahibul arba'ah (imam madzhab empat). Adapun pendapat mereka dalam hal fiqh, sudah tidak asing lagi, namun bagaimana pendapat mareka tentang tauhid, filsafat, dan kalam??. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan konsep-konsep pendapat mereka yang notabene merupakan sebuah identik argumen dalam hal selain fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat pendiri empat madzhab??
2. Bagaimana metode mereka dalam menetapkan yurisprodensi (fiqh)??
3. Bagaimana pendapat mereka dalam hal selain fiqh??

C. Tujuan
1. untuk mengetahui sejarah singkat dari pendiri empat madzhab
2. untuk mengetahui metode yang dipakai dalam menetapkan fiqh
3. untuk mengetahui pendapat imam empat madzhab dalam hal selain fiqh

BAB II
KONSEP IMAM EMPAT MADZHAB


A. SEJARAH SINGKAT IMAM EMPAT MADZHAB
1. Imam Hanafy (80 – 182 H)
Pendiri dari madzhab Hanafi adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.

2. Imam Maliky (93 – 179H)
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Beliau wafat pada tahun 179 hijrah ketika berumur 86 tahun dan meninggalkan 3 orang putera dan seorang puteri.
3. Imam Syafi'i (150 – 204 H)
Madzhab ini dirintis oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Asy Syafi'i Al Muthallabi keturunan Quraisy. Beliau dilahirkan di kota Gaza, kemudian dibawa ke Asqaalan. Ketika berusia 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan hidup bersama orang Yaman, karena ibunya keturunan dari suku Azdiyah. Usia 10 tahun beliau di bawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap.
Dalam usia 7 tahun beliau telah menghafalkan Al Qur'an. Usia 10 tahun hafal kitab Al Muwattha' karya Imam Malik, kemudian usia 12 tahun atas izin dari guru beliau Khalid Az Zanji, beliau berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair Hudzail. Setelah itu pergi ke Madinah untuk belajar fiqh pada Imam Malik, setelah itu kepada Sufyan Bin Uyainah. Dari hasil menggadaikan rumahnya sebesar 16 dinar Imam Syafi'i pergi ke Yaman, sambil bekerja beliau berguru pada Ibnu Abi Yahya dan lainnya.
Saat pemerintahan Harun Al Rasyid, terjadi fitnah Alawiyyin, sehingga beliau terkena dampaknya. Beliuy bersama alawiyyin lainnya diikat dan digiring ke Irak sambil disiksa. Keluar dari penjara, beliu berguru pada Imam Muhammad bin Hasan. Ketika zaman khalifah Al Makmun, belia pergi ke Mesir kemudian membuka halaqah di masjid Amr Bin Ash, karena banyak terjadi penyelewengan dan bid'ah.

4. Imam Hanbali (164 – 241 H)
Bernama Muhammad as Syaibani bin Hambal. Lahir di masa pemerinyahan Muhammad al Mahdi, dinasti Bani Abbasiyah, bulan Rabiul Awwal 164 Hijriyah (780 Masehi). Keadaan kecilnya tak banyak beda dengan Imam Syafei, yatim.
Di antara empat Imam madzab, beliau tergolong bungsu dan terakhir. Sudah menjadi sunatullah, setiap orang besar dan berderajad tinggi di sisi Allah, niscaya mendapatkan ujian berat. ujian itu sengaja turun dari hadirat-Nya, untuk manusia, supaya terbukti di tengah khalayak, apakah ia loyang atau emas. Jika emas, sekalipun tersuruk di comberan, ia akan tetap sebagai emas yang kemilau.
Ulama besar yang berani lantang mengatakan bahwa al-Qur'an itu bukan makhluk ialah Imam Hambali. Beliau menegaskan bahwa al -Qur'an kalamullah (firman Allah), bukan makhluk.
Imam Hambali wafat dalam usi 77 tahun. Kematiannya sempat menebarkan kabut duka di segenap wilayah kerajaan Bani Abbasiyah. Baginda al Mutawakkil sendiri turut berduka mendalam atas kematian seoran yang pernah diperlakukan aniaya oleh leluhurnya dulu.

B. METODE IMAM EMPAT MADZHAB DALAM BIDANG FIQH
1. Imam Abu Hanifah
Secara ringkas madzhab Hanafi yang dikenal dengan aliran akal (ra'yu) mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut:
• Kitabullah (Al Qur'an)
• As Sunnah (Al Hadits)
• Atsar-atsar sahabat yang masyhur dan fatwa-fatwa mereka
• Ijma' (Konsensus Ulama')
• Qiyas (Analogi)
• Istihsan (Menganggap baik sebuah hal)
• Urf (Adat istiadat yang tidak menyimpang syara')
2. Imam Malik Ibn Anas
Adapun madzhab Maliki terkenal dengan aliran Ahli Hadits (Sunnah) mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut:
• Kitabullah (Al Qur'an)
• As Sunnah (Al Hadits) yang dipandang shahih
• Ijma' (amalan) Ahli Madinah
• Qiyas (Analogi)
• Maslahah Mursalah (kebaikan yang tidak disinggung syara')
• Syadzdzudz dzari'ah (mencegah dari perbuatan yang menuju haram)
3. Imam Muhammad Ibn Idris
Adapun madzhab Syafi'i terkenal dengan aliran tengah-tengah (moderat) antara nash dan ra'yu (akal), mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut:
• Kitabullah (Al Qur'an)
• As Sunnah (Al Hadits) yang dipandang shahih
• Ijma' (Konsensus Ulama')
• Qiyas (Analogi)
• Istidlal (mempergunakan dzahir ayat, selama tidak ada dalil yang menunjukkan takwil ayat)
4. Imam Ahmad Ibn Hanbal
Adapun madzhab Hanbali terkenal dengan aliran murni nash, mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut:
• Kitabullah (Al Qur'an)
• As Sunnah (Al Hadits)
• Fatwa-fatwa sahabat
• Pendapat sahabat yang tidak diperselisihkan
• Qiyas (hanya dalam posisi dharurat)

C. PENDAPAT IMAM EMPAT MADZHAB DALAM BIDANG SELAIN FIQH (FILSAFAT)
1. Tentang Istawa (Bersemayam) dzat Allah SWT
Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.
Abu Nu'aim juga menuturkan dari Ja'far bin Abdillah, Imam Malik berkata, 'Cara Allah beristiwa' tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa' (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid'ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid'ah itu. Kemudian Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau"
Imam Asy Syafi'i berpendapat bahwa Allah bersemayam di atas arsy, namun tidak sama dengan apa yang dipikirkan manusia, seperti dalam QS. Al Hadid: 4.
2. Tentang Kenabian
Imam Asy Syafi'i berkata bahwa Allah SWT menjadikan para Nabi sebagai makhluk pilihan dan menitipkan wahyu untuk disampaikan dalam menegakkan hujjah kepada manusia. Jelaslah bahwa dari pendapat ini beliau menolak Ar Razi yang meniadakan adanya nubuwwah kenabian (dengan alasan: akal telah mampu membedakan baik dan buruk, semua manusia sama –jadi tidak ada pengistimewaan-, jika Nabi sama-sama berdakwah atas nama Tuhan, mengapa ajaran mereka berbeda?)
3. Tentang Dzat dan Sifat Allah
Imam Syafi'i sangat konsisten dengan manhaj salaf. Bahwa Allah memiliki sifat, baik yang Ia sifatkan pada dirinya sendiri, dan melalui Nabi-Nya tanpa takwil dan tasybih. Dari pendapat ini jelas bahwa beliau menolak adanya Emanasi, sebab dengan hal itu akan maniadakan status antara pencipta dan yang diciptakan.
4. Tentang Wujud Allah SWT
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
Asy Syafi'i berkata: aku pernah berjumpa 17 orang dzindiq, sehingga beliau menunjukkan jalan taubat kepada mereka dengan memberikan dalil tentang wujud Allah dari buah pohon Thut. Bila dimakan kambing akan menjadi kotoran, bila dimakan lebah menjadi madu, bila dimakan ulat menjadi sutera, siapa yang menjadikan semuanya itu bila bukan dzat yang Maha Kuasa, yakni Allah SWT?
Asy Syafi'i juga memberikan tiga dalil tentang wujud Allah SWT melalui: fitrah manusia sebagai makhluk, melalui ayat-ayat kauniyah (alam), dan melalui ayat-ayat inayah (nash)
Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi', katanya: "Imam Malik berkata, Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat"
5. Tentang bahwa Al Qur'an bukanlah Makhluk
Imam Hanbali adalah Ulama paling keras menentang bahwa Al Qur'an adalah kalamulloh dan bukan makhluk, sehingga beliau dipenjara.
Imam Syafi'i mengkafirkan para pemikir (filosof) yang menyatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk, seperti Hafs Al Fard.
Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi', katanya: "Imam Malik bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu makhluk dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.
6. Tentang Iman
Imam Malik berkata bahwa Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.
Imam Syafi'i berkata bahwa juga sependapat bahwa iman adalah perbuatan dan perkataan, dapat berkurang dan bertambah.
7. Perbedaan Argumen dengan Kaum Rasionalis dan Filosof
Perbedaan antara kaum ulama dengan kaum filosof atau rasionalis sudah terjadi sejak islam terpecah manjadi banyak golongan. Antara lain pemikiran kaum filosof ini dipelopori oleh Mu'tazillah yang disokong resmi oleh negara.
Imam Asy Syafi'i dalam kitab Ar Risalahnya menyindir kaum filosof sebagai makhluk yang tidak tahu diri, alias tidak punya sopan santun terhadap Tuhan, digambarkan sebagai cerita Bogok dan Rasyid, seperti sifat Bani Israil yang terdapat dalam QS. Al Baqarah:55.
"Dan ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang"
Para kaum filosof juga mencoba mencuplik dalil-dalil Al Qur'an dan Al Hadits tentang keutamaan dan kebergunaan akal, tapi mereka lupa pada QS. Al Isra': 36
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui tentangnya"
Dan dalil dari ayat lain:
"Dan tidaklah kamu kami beri ilmu (pengetahuan), kecuali sedikit sekali.."
Serta keterangan dalam QS. An Nahl:43 tentang penyandaran pada para ulama'
"Maka bertanyalah pada ahl dzikr (ulama) bila kamu tidak mengetahui.."
Serta dalam hadits nabi:

"…Ketahuilah bahwa apa yang terjadi pasti terjadi, dan apa yang tidak terjadi tak akan terjadi.."
Juga pendapat para Ulama' (Imam Ahmad bin Ali Al Bunny)
"Ilmu tanpa sanad yang bersambung sampai Nabi SAW, ketahuilah bahwa ia laksana kegelapan.."
Begitu pula madzhab Imam Hanbali yang mempunyai sikap antipati terhadap kaum filosof dan rasionalis, hingga kekhalifahan Al Mutawakkil beliau hidup dalam pengwasan ketat negara.
Ulama-ulama madzhab empat (madzhab Ahlussunnah wal Jamaah) juga banyak yang menentang para filosof yang terlampau mengandalkan akal mereka saja. Bukannya mereka (para ulama) menetang pemakaian akal, namun otoritas akal adalah di bawah nash Al Qur'an dan As Sunnah. Sesuai dengan qoidah iltizam (komitmen) terhadap Al Qur'an dan Al Hadits. Adapun secara garis besar pendapat dari mereka adalah:
• Allah memiliki sifat dan sifat itu berbeda dengan dzat-Nya
• Allah tidak berjism dan tidak bertempat
• Al Qur'an bukan makhluk tapi merupakan kalam rabb yang qodim

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pada dasarnya perbedaan yang terjadi antara Imam madzhab adalah dalam hal fiqh, bukan aqidah dan tauhid, dalam hal ini mereka sama dalam satu aliran yakni ASWAJA.
2. Tentang akal, para ulama tidak melarang penggunaan akal sebagai anugerah Allah SWT. mereka bahkan menganjurkan berpikir, namun otoritas akal tetap barada di bawah Kitabain (Qur'an-Hadits).
3. Para Imam madzhab adalah orang-orang pilihan, dengan keunggulan ilmu dan akhlak mereka, sehingga tidak diragukan untuk dijadikan rujukan dan hujjah syar'i.

DAFTAR PUSTAKA

1. K. Ahmad Subhi Musyhadi. 1981. Misbahul Anam Syarh Bulughul Marom Juz III. Pekalongan: Maktabah Raja Murah

2. Sayyid Ahmad Hasyimi. 1971. Mukhtarul Ahaditsun Nabawiyyah. Surabaya: Haromain.

3. Al Allamah K. Arwany. Tt. Al Qur'anul Karim. Kudus: Menara Kudus

4. Drs. Aziz Masyhuri dkk. 1985. Tarikh Tasyri' 2. Jakarta: CV. Mulya Agung.

5. Drs. Aziz Masyhuri dkk. 1985. Tarikh Tasyri' 3. Jakarta: CV. Mulya Agung.

6. Husayn Ahmad Amin. 2001. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

7. Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2009. Ushul Fiqh 2. Kertosono: STAI Mifathul 'Ula.

8. PC. Nahdlatul Ulama Nganjuk. 2009. Pedoman Warga Nahdlatul Ulama. Nganjuk: NU Press.

9. Http: //www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=170, Imam Malik
/
10. Http://Salafytobat.Wordpress.Com/2008/06/16/Hujjah-Imam-Hanafi-Kalahkan-Aqidah-Sesat-Salafy-Wahaby, Wasiat Abu Hanifah

11. Http://Www.Unri.Ac.Id/Web-Site/Ukm-Islam/Artikel/Imam_Hambali.Html. Imam Hambali, tak goyah oleh siksaan

12. http://wgroups.yahoo.com/group/eramuslim/message/28053. Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam syafi'i

13. Http://Opi.110mb.Com/Haditsweb/Sejarah/Sejarah_Singkat_Imam_Hanafi.Html. Sejarah Singkat Imam Hanafi

14. Http://prospekdinar.blogspot.com/2009/01/pendapat-imam-malik-tentang-tauhid.html. Pendapat Imam Maliki Tentang Tauhid

15. Http://prospekdinar.blogspot.com/2009/01/pendapat-imam-malik-tentang-iman.html. Pendapat Imam Maliki Tentang Iman

16. . http://www.almanhaj.or.id/content/1363/slash/0. Pendapat Imam Maliki Tentang Tauhid

CIRI DAN URGENSI SURAT MAKIYAH DAN MADANIYAH


CIRI CIRI DAN URGENSI
SURAT MAKKIYYAH DAN MADANIYYAH

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen pembimbing :
Ator Subroto

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
September, 2010

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diantara masalah-masalah yang seringkali membingungkan yaitu mengklasifikasikan suatu ayat. dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dan bias dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur’an, maka dalam makalah ini dibahas meliputi ciri-ciri surat makkiyyah dan surat madaniyyah, juga urgensi pengetahuan Makkiyyah dan Madaniyyah. Sehingga dengan begitu kita dapat menentukan dan membedakan antara surat-surat Makkiyyah dan surat-surat Madaniyyah, dan menentukan ciri-ciri khas masing-masing. Urgensi pengetahuan tentang makkiyyah dan madaniyyah juga dapat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, dapat dijadika pedopman bagi langkah-langkah dakwah, juga dapat memberikan informasi tentang sirah kenabian.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam pembahasan ini akan dibahas rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa definisi surat Makkiyyah dan surat Madaniyyah?
2. Bagaimana ciri-ciri khusus surat Makkiyyah dan surat Madaniyyah?
3. Bagaimana ciri-ciri umum surat Makkiyyah dan surat Madaniyyah?
4. Apa urgensi pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dalam pembahasan ini akan dibahas tujuan pembahasan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi surat Makkiyyah dan surat Madaniyyah.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri khusus surat Makkiyyah dan surat Madaniyah.
3. Untuk mengetahui ciri-ciri umum surat Makkiyyah dan Madaniyyah.
4. Untuk mengetahui urgensi pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah.

CIRI CIRI DAN URGENSI
SURAT MAKKIYYAH DAN MADANIYYAH

A. Definisi Surat Makkiyyah Dan Madaniyyah
Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah.
2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah.
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ di Arafah.


B. Ciri-ciri Khusus Surat Makkiyyah Dan Surat Madaniyyah
Ciri-ciri khusus surat makkiyyah mengingat dhabith qiyasy itu, ialah :
1. Didalamnya teerdapat ayat sajdah.
2. Terdapat lafal kalla.
3. Dimulai dengan seruan yaa ayyuhan naasu dan tidak terdapat ayat yang dimulai dengan yaa ayyuhalladziina, kecuali dalam surat Al-Hajj [22], karena dipenghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai dengan ungkapan yaa ayyuhalladziina amanu irka’u wasjudu.
Kebanyakan ulama’ mengatakan bahwa surat itu Makkiyyah. Maka dalam menghadapi dhabith ini, menetapkan bahwa dhabith ini adalah mengingat kebanyakan surat ,bukan keseluruhannya. Tetapi jika lebih dahulu kita kecualikan beberapa surat, maka dhabith ini pun dapat kita katakan suatu dhabith yang qath’iy. Surat-surat yang dikecualikan, ialah surat Al-Baqarah ayat 21 dan ayat i68. Dan surat An-Nisa’ ayat pertama dan ayat 133-nya diawali dengan yaa ayyuhannas.
4. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para Nabi dan umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah.
5. Terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali surat Al-Baqarah [2].
6. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf At Tahajji (terpotong-potong) seperti alif lam mim dan sebagainya, terkecuali surat Al-Baqarah [2] dan Ali ‘Imran [3].
Keenam ciri ini, sudah dikecualikan beberapa ayat yang tersebut itu, adalah ciri-ciri yang qath ‘iy yang tepat benar penerapannya.
Diantara ciri-ciri khusus yang qath ‘iyah dari surat-surat Madaniyyah ialah :
1. Mangandung katentuan-ketentuan farai’dh dan hadd. Didalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak pidana, hak-hak perdata, peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
2. Didalamnya terdapat sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-Ankabut [29].
3. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitab, dan mereka diajak untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama, seperti kita dapati dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali Imran, At Taubah dan lain-lain.


C. Ciri-ciri Umum Surat Makkiyyah Dan Surat Madaniyyah
Ada pun ciri-ciri surat Makkiyyah yang masyhur ialah :
1. Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras.
2. Banyak terdapat lafal sumpah.
3. Mangandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir, dan menggambarkan keadaan surga dan neraka.
4. Menyeru manusia berperangai mulia dan berjalan lempang diatas jalan kebajikan, menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat.
5. Menuturkan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu serta perjuangan Nabi Muhammad dalam menghadapi tantangan-tantangan kelompok Musyrikin, serta mendebat orang-orang Musyrikin dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka.
Diantara tanda-tanda yang membedakan bagian Madaniy dan makkiy ialah :
1. Surat dan sebagian ayatnya panjang panjang serta menjelaskan hukum secara jelas dan menggunakan ushlub yang jelas pula.
2. Manjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada hakikat-hakikat keagamaan. Seperti permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintah menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
3. Mengkhitabi Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani dan mengajaknya masuk Islam, menguraikan perbuatan mereka yang telah menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya setelah datang kebenaran.
4. Mengungkap langkah-langkah orang munafik.

D. Urgensi Pengetahuan Tentang Makkiyyah Dan Madaniyyah
An-Naisaburi dalam kitabnya At-Tanbih ‘Ala Fadhl ‘Ulum Al-Qur’an, memandang subjek Makkiyah dan Madaniyyah sebagai ilmu Al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut.
1. Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an
Pengetahuan tentang para mufasir dalam peristiwa diseputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa keumuman redaksi ayat yang harus menjadi patokan dan bukan kekhususan sebab. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufasir dapat memecahkan konsep nasikh-mansukh yang hanya dapat diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.
1. Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan yang relevan. Ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah memberikan informasi metopdologi bagi cara-cara menyanpaikan dakwahagar relevan dengan orang yang diserunya. Karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hatidan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Disamping itu, setiap langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manuusia. Periodisasi Makkiyyah dan Madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
2. Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunnya wahyu adalah seiring dengan perjalanan dakwah nabi, baik di Mekkah atau di Madinah, mulai diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya sudah tidak dapat diragukan lagi.
Selain itu, Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
- Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
- Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
- Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
- Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.