Rabu, 27 April 2011

TAFSIR AL QUR'AN


TAFSIR AL-QUR’AN

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ulumul Qur’an”


Dosen pembimbing:
Bpk. Athoor Subroto


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
FAKULTAS TARBIYAH PRODI S1-PAI
Nglawak Kertosono Nganjuk
Desember, 2010


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur`an juga menjadi penjelasan (bayyinaat), dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan beberapa makna. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian tafsir?
2. Sebutkan perbedaan tafsir, ta’wil, dan terjemah?
3. Sebutkan corak dan pendekatan tafsir?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka Tujuan Pembahasn yang ingin dicapai pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami pengertian tafsir.
2. Mengetahui dan memahami perbedaan tafsir, ta’wil, dan terjemah.
3. Dapat menyebutkan corak dan pendekatan tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :


“Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
Menurut As Zarkasyy “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Dalam kitab Al-Burhan fi Ulumil Qur’an tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, dan menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya, menguraikan dari segi bahasa, nahwu, shorof, ilmu bayan, ushul fiqh dan imu qiraat, untuk mengetahui sebab-sebab turunya ayat dan nasikh mansukh.
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW, berikut prnjelasan maknanya, serta pengambilan hukum serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang memebahas Al-Qur’anul Karim dari segi pengertaiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.

B. Perbedaan Tafsir, Ta’wil’ dan Terjemah
Para Ualama’ berbeda pendapat tentang perbedaan antara tafsir, ta’wil dan terjemah. Berdasarkan penjelasan pengertian tafsir di atas, maka pada makalah ini dapat menyimpulkan perbedaan tersebut. Yaitu:
Tafsir adalah pengertian dari ayat Al-Qur’an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza Wajalla…., atau makna- makna dari ayat Al-Qur’an yang jelas dan dalalahnya, sesuai yang di kehendaki Allah.
Sedangkan ta’wil adalah menurut bahasa mengembalikan arti lafal kepada salah satu dari beberapa artinya yang bermacam-macam. Atau menerangkan arti m’ana yang sesuai dengan lafal dari beberapa arti kandungannya. Menurut istilah ada dua pendapat yaitu:
Ta’wil arti luas: sama dengan tafsir. Yaitu meliputi keterangan arti ayat, penjelasan maksud kandungannya, dan pengisbatan hukum-hukum serta uraian kaidanya.
Ta’wil arti sempit: pengertiannya hanya khusus menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafal ayat, dari arti yang kuat ke arti yang kurang kuat, karena adanya alasan yang mendorongnya.
Sedangkan terjemah adalah memindahkan satu bahasa kebahasa yang lain agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat mengerti pada bahsa yang pertama. Pengertian terjemah ini dapat di bagi menjadi dua bagian:
a. Terjemah harfiyah (literitik) yaitu menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa inggris, jerman, prancis, dll mengenai lafal, kosa kata, jumlah dan susunannyaterjemahnya sesuai dengan bahasanya
b. Terjemah maknawiyah (tafsiriyah) yaitu menterjemahkan arti ayt- ayat Al-Qur’an, namun si penterjemah tidak terkait dengan lafalnya, karena ia lebih memeperhatikan ayat Al-Qur’an dengan lafal-lafal yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penerjemah hanya berpegang pada bahsa asal lalu memahaminya kemudian menuangkan kedalam bahasa lain.
Titik persamaannya adalah ketiga- tiganya menerangkan ayat- ayat Al-Qur’an.
Titik perbedaannya adalah sebagai berikut:
Terjemah: hanya mengubah kata-kata ayat dari bahasa arab ke bahasa lain tanpa memeberikan penjelasan arti akndingan secara panjang lebar, dan tidak menyimpulkan dari isi kandungan.
Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang- kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum- hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu, sering kali disertai dengan kesimpulan kandungan ayt-ayat tersebut
Ta’wil: lafal-lafal ayat Al-Qur’an itu dialihkan dari ayat yang lahir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh/ tidak kuat.

C. Corak dan Pendekatan Tafsir
1. Corak Tafsir
Ditinjau dari segi sumbernya, Tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Tafsir riwayat atau tafsir naql atau tafsir maktsur (atsar)
Tafsir Riwayat adalah penafsiran Al-Qur’an atau Hadits atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah Swt. Tafsir ini di bagi menjadi tiga yaitu tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Al-Qur’an dengan atsar yang timbul dari para sahabat.
Contoh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an


“ dihalalkan bagimu binatang ternak”
Dijelasakan oleh firman Allah


“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah ,daging babi, dan lain sebagainya”
Contoh Al-Qur’an dengan Sunnah yang berfungsi sebagai tafsir dan penjelas Qur’an. Rasulullah menjelaskan “zalim” dengan syirik dalam firman Allah:


“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka itu adalah orang yang mendapat petunjuk” (Q.S Al-An’am:82)
Nabi SAW. Menafsirkan al-dhulmu dangan Asy-syirku. Penafsiran ini dikuatkan oleh firman Allah Swt:


“Sesungguhnya menyekutukan Allah adalah dosa besar”
Menafsirkan Qur’an dengan pendapat sahabat yaitu bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’am dan Sunnah mak mufassir supaya mecari pendapat sahabat, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui soal-soal penafsiran dan situasi serta hal ihwal ketika diturunkan ayat Al-Qur’an itu.
Kelemahan- kelemahan pada tafsir ini adalah sebagai berikut:
1) Canpur-baur antar yang shahih dengan yang tidak shahih yang dinisbatkan pada sahabat tanpa memiliki sandaran.
2) Riwayat- riwayat ada yang dipengaruhi cerita-cerita yang bertentangan dengan kaidah islamiah.
3) Di kalangan sahabat, ada golongan ekstrim. Mereka mengambil pendapat dan memebuat kebatilan yang dinisbatkan kepda sahabat.
4) Musuh-musuh Islam dari orang-orang zindik berusaha mengecoh sahabat.
Kitab-kitab yang tergolong dalam kategori Tafsir Bil-Ma’tsur adalah Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an karya Ibnu jarir Ath-thabari, Al-Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an karya Imam Ahmad Ibnu Ibrahim As-Tsalabi, dll.
2. Tafsir dirayah atau tafsir bir-ra’yu (dengan akal)
Yaitu Tafsir Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran Mufassir terhadap tutuntunan bahasa arab dan kasusteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. (Mana’ Al-Qathan)
Sedangkan menurut Qurtubi adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti dan sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami Tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.
Tafsir ini dibagi menjadi dua yaitu: mahmud dan madzmum. Mahmud adalah penafsiran seseorang yang tahu betul terhadap kaidah bahasa, tanggap dengan uslub-uslubnya, serta mengetahui aturan syari’at. Sedangkan Madzmum adalah bersumber dari hawa (semaunya sendiri) ynag berdiri di atas kebodohan dan kesesatan. Contoh:


“ Pada hari (kiamat) Kami panggil tiap-tiap manusia dengan imamnya.” (Q.S. Al-Isra’:71)
Orang bodoh menafsirkan yang dimaksud ayat tersebut adalah Allah memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena hendak menutupi mereka. Menurutnya, Al-Imam adalah jama’ dari Al-Ummu. Padahal jama’nya adalah Al-Ummahat.
Adapun Imam yang dimaksud pada ayat tersebut adalah “Nabi” yang diikuti oleh ummatnya. Contoh Tafsir ini adalah Mafatihu al Ghoib karya Fahruddin, Anwaru Al Tanzil wa Haqaiqu al Ta’wil karya Imam Baidlawi, dll.
Sumber-sumber yang harus diambil sebagai penafsiran dalam Tafsir Diroyah ini:
1) Menuqil dari Rasullulah, dengan teliti dan meninggalkan yang dhoif dan maudhu’
2) Mengambil ucapan pra sahabat dalam menafsirkan
3) Mengambil bahasa arab secara mutlak
4) Mengambil sesuatu yang sesuai dengan kalam Arab dan berdasarkan syarak
3. Tafsir isyaroh atau tafsir isyari
Yaitu cara menafsikan Al-qur’an yang didasarkan atas perpaduan antar sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber ijtihad pikiran yang sehat.
Menurut Ulma’ lain Tafsir Isy’ari adalah tafsir Al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena suatu isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian Ulul I’lmi dan a’rifin yang telah diterangi Allah oleh mata hatinya.
Para ulama’ berselisih tentang tafsir ini, diantara mereka ada yang membenarkan dan ada yang tidak. Ada yang menggap sebagai kesempurnaan iman dan kemakrifatan dan ada yang mengganggap sebagai peneyelewengan dari ajaranNYA.
Tafsyir Isy’ari dapat diterima bila memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
1) Tidak bertolak belakang dengan susunan Al-Qur’an yang lahir
2) Tidak menyatakan bahwa (maksud yang sebenarnya) hanyalah is’ari yang tersirat bukan tersurat
3) Penakwilan tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal, sebagaimana penafsiran batiniyah tentang firman Allah:

“Dan Sulaiman itu mewarisi (menggantikan) bapaknya Daud”
Bahwa imam Ali adalah pewaris ilmu nabi
4) Tidak bertentangn dengan hukum syar’ dan akal
5) Tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat
Contoh tafsir ini adalah Tafsir al Manar karya Syaikh Rasyis Ridlo.
2. Pendekatan Tafsir
Dari segi penjelasannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tafsir dibagi menjadi dua:
1. Tafsir Bayani seirng disebut juga metode diskriptif yaitu Al-Qur’an yang dalam menafsirkan hanya dengan memberikan keterangan secara diskriptif tanpa membandingkan riwayat, pendapat, yang satu dengan yang lainya.
2. Tafsir Muqorin yaitu sering disebut dengan metode komperatif , dengan memebandingkan ayat , riwayat atau pendapat satu dengan pendapat yang lain, untuk dicari titik persamaan dan perbedaanya. “ Jami’ul Ahkam”
Dari segi keluasaan dan penjelasannya, tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi dua:
1. Tafsir Ijmali yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara global saja yakni tidak secara mendalam dan tidak panjang lebar,sehingga mudah dipahami.’Tafsir Wasith’
2. Tafsir Ithnabi yaitu menafsirkan secar rinci/mendetail, dengan uraian-uraian yang panjang lebar dan jelas. “Tafsir Al Manar” karya Muhammad Abduh
Dari susunan dan tertib ayat, tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir Tahalli yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dari awal Al-Fatihah sampai An nas.
2. Tafsir Maudlu’iy yaitu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat mengenai satu judul/topik tertentu. Dengan mempeerhatikan masa turunnya dan asbabun nuzulnya, serta dengan mempelajari secara cermat dan mendalam.
3. Tafsir Nuzuly yaitu menafsirkan ayat-ayat al-qur’an urut dan tertib sesuai dengan urutan turunya ayat Al-Qur’an.
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab corak atau aliran tafsir ada: Corak fiqhiy, shufiy, ‘ilmy, bayan, falsafy, adabiy, ijtimai’iy.
1. Tafsir Fiqhiy yaitu tafsir Al-Qur’an yang beralian hukum/fiqh yaitu yang titik sentralnya pada bidang hukum. Contoh Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an.
2. Tafsir Shufy yaitu tafsir Al-Qur’an yang beralian tasawuf, kajiannya menitik beratkan pada unsur-unsur kejiwaan.
3. Tafsir ‘Ilmy yaitu tafsir yang beralian modern/ilmiah ,yang titik sentral kajiannya bidang ilmu pengetahuan umum, untuk menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an, terutama berkisarpada soal-soal alam fisika atau ayt-ayat kauniyah.
4. bayan yaitu
5. Falsafy yaitu tafsir yang beralian filsafat yang titik sentralnya pada bidang filsafat dengan menggunakan jaln dan pemikiran filsafat.
6. adaby yaitu tafsir yang menitik beratkan pada unsur bahasa meliputi segi I’rab dan hakekat bacannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kasusteraan. Melibatkan ilmu balaghoh sehingga makna al-Qur’an menjadi semakin kaya akan warna.
7. Ijtima’iy yaitu penafdiran yang mrlibatkan kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat. Contoh Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya Sayyid Qutubi.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengrtian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Menurut istilah tafsir adalah ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW, berikut prnjelasan maknanya, serta pengambilan hukum serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang memebahas Al-Qur’anul Karim dari segi pengertaiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
2. Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Trejemah
Tafsir adalah pengertian dari ayat Al-Qur’an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza Wajalla….Ta’wil adalah menerangkan arti m’ana yang sesuai dengan lafal dari beberapa arti kandungannya.Terjemah adalah memindahkan satu bahasa kebahasa yang lain agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat mengerti pada bahsa yang pertama. Perbedaan yang mendasar adalah
Terjemah: hanya mengubah kata-kata ayat dari bahasa arab ke bahasa lain tanpa memeberikan penjelasan arti akndingan secara panjang lebar, dan tidak menyimpulkan dari isi kandungan.
Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang- kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum- hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu, sering kali disertai dengan kesimpulan kandungan ayt-ayat tersebut
Ta’wil: lafal-lafal ayat Al-Qur’an itu dialihkan dari ayat yang lahir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh/ tidak kuat.
3. Corak dan Pendekatan Tafsir
a. Corak Tafsir
Ditinjau dari segi sumbernya, Tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu
Tafsir riwayat atau tafsir maktsur (atsar) adalah penafsiran Al-Qur’an atau Hadits atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah Swt. Tafsir ini di bagi menjadi tiga yaitu tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Al-Qur’an dengan atsar yang timbul dari para sahabat.
Tafsir dirayah atau tafsir bir-ra’yu (dengan akal)Yaitu Tafsir Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran Mufassir terhadap tutuntunan bahasa arab dan kasusteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. (Mana’ Al-Qathan)
Tafsir isyaroh atau tafsir isyari Yaitu cara menafsikan Al-qur’an yang didasarkan atas perpaduan antar sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber ijtihad pikiran yang sehat.
b. Pendekatan Tafsir
Dari segi penjelasannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tafsir dibagi menjadi dua yaitu tafsir bayani ( memberikan keterangan secara diskriptif tanpa memebandingkan riwayat)dan tafsir muqorin (kebalikan bayani)
Dari segi keluasan penjelasannya dibagi dua; Tafsir Ijmali (dijelaskan secara global saja) dan Tafsir Itrabi (kebalikan Ijmali)
Dari segi dan susunan tertib ayat dibagi dua: Tafsir tahalli (secara berurutan dari al-baqoroh snapai an-nas) dan Tafsir Maudhu’I (membicarakan satu topik)
Selain pendekatan di atas, kadang para mufassirin menafsirkan dengan ilmu yang dikuasainya yaitu:
Tafsir Adabi atau lughowi yaitu dari segi bahasa,Tafsir al-fiqh yang hanya beralian hukum fiqh, tafsir shufi (beralian tasawuf), I’lmy (beralian modrn/ilmiah), falsafy (beralian filsafat), Ijmyima’iy (melibatakn kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat)


DAFTAR PUSTAKA


As, Mudzakir. 2009. Studi Ilmu- ilmu Qur’an. Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia.

Syadali, ahmad. 1997. Ulumul Qur’an II. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Ali, Muhammad Ash-Shabunniy. 1991. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia

As-Shalih, Subhi. 1999. Membahas Ilmu- ilmu Al- Qur’an. Jakarta: Pustaka firdaus.

Ali, Muhammad Ash-Shabunniy. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amin

Nasir, Ridlwan. 2003. Memahami Al-Qur’an. Surabaya: CV. Sentral Media.

TRASPALASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM FIQH


TRANSPLATASI (PENCAKOAN) MENURUT PERSPEKTIF HUKUM FIQH

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Masail Fiqhiyah”


Dosen pembimbing:
Drs. Harisuddin, M. Pdi


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
FAKULTAS TARBIYAH PRODI S1-PAI
Nglawak Kertosono Nganjuk
Maret, 2011

TRANSPLATASI (PENCAKOAN) MENURUT PERSPEKTIF HUKUM FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu.
Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari organ manusia kepada organ manusia. Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ?
Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang huku tranpalntasi. Agar para pembaca dapat memahami hukum transpalntasi menurut agama islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari Latar Belakang di atas, maka pda makalh ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian tranaplantasi?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang transplantasi organ tubuh?

C. PEMBAHASAN
Dari Rumusan Masalh di atas, maka makalah ini mempunyai Tujuan Pembahasan sebagai berikut:
1. Memahami pengertian transplantasi
2. Memahami pandangan hukum Islam tentang transplantasi organ tubuh


BAB II
PEMBAHASAN
TRANSPLANTASI (PENCAKOAN) MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM FIQH

A. PENGERTIAN TRANSPLANTASI
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a’. Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian :
1. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2. Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
3. Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.

B. HUKUM TRANSPLANTASI
Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang masih hidup
Pendapat pertama, Hukumnya tidak Boleh (Haram). Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat. Mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan jantung, hati dan otaknya. Maka hukumnya tidak diperbolehkan,
Dalil pendapat pertama :


Firman Allah swt “dan jangan lah kamu membunuh dirimu sendiri,sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu “ ( Q.S.An-Nisa’:4:29) “


Dan Jangan lah kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S.Al-Baqarah:2:195).
Maksudnya Adalah bahwa Allah swt melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang mendonorkan salah satu organ tubuhnya secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Padahal manusia tidak disuruh berbuat demikian, manusia hanya disuruh untuk menjaganya (organ tubuhnya) sesuai ayat di atas. Sesungguhnya perbuatan mengambil salah satu organ tubuh manusia dapat membawa kepada kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa kepada kemudlaratan merupakan perbuatan yang terlarang sesuai Hadist nabi Muhammad saw “Tidak boleh melakukan pekerjaan yang membawa kemudlaratan dan tidak boleh ada kemudlaratan”
Manusia tidak memiliki hak atas organ tubuhnya seluruhnya, karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah swt.
Qaidah Fiqhiyah


“ Menghindari kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan”
Seseorang harus lebuh mengutamakan memelihara dirinya dari kebinasaan, dari pada menolong orang lain degan cara mengorbankan dirinya sendiri.
Pendapat kedua, Hukumnya ja’iz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu yaitu: Adanya kerelaan dari si pendonor. Keinginan untuk mendonorkan organ tubuhnya memang muncul dari keinginannya, tanpa ada paksaan. Serta kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal. Organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti Jantung, hati,paru-paru dan lain-lain. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ vital tersebut dapat menyebabkan kematian bagi si pendonor. Sedangkan sesuatu yang membawa kepada kehancuran atau kematian diri sendiri dilarang oleh agama sesuai firman Allah swt dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 29

“dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri…”
Pengobatan dengan transplantasi merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut. Kemungkinan untuk keberhasilan proses transplantasi lebih besar, artinya secara kebiasaan proses memotong organ sampai dengan proses meletakkannnya pada si penderita penyakit memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Maka tidak boleh melakukan transplantasi oleh yang belum berpengalaman dan dengan cara eksperimen. Si pendonor tidak boleh menuntut ganti secara finansial kepada si resipien ( yang menerima organ),karena proses pendonoran adalah proses saling tolong – menolong antara manusia, bukan proses jual-beli organ yang hukumnya haram dalam islam.
Dalil pendapat kedua :
Setiap insan,meskipun bukan pemilik tubuhnya secara pribadi,namun memiliki kehendak atas apa saja yang bersangkutan dengan tubuhnya,ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan kepada manusia hak untuk mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa kepada kehancuran, kebinasaan dan kematian dirinya (Qs.An-Nisa’ 29 dan al-Baqarah 95). oleh karena itu, jika pendonoran organ tubuhnya, atau kulitnya, atau darahnya tidak membawa kepada kematian dirinya serta tidak membawa kepada kehancuran dirinya, ditambah lagi pada waktu bersamaan pendonoran organnya dapat menyelamatkan manusia lainnya dari kekhawatiran akan kematian, maka sesungguhnya perbuatan donor organ tubuhnya merupakan perbuatan yang mulia.
Sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika darurat merupakan pekerjaan yang mubah ( boleh ) dengan dalil firman Allah Swt


“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang haram bagi mu kecuali ketika kamu dalam keadaan terpaksa (darurat) (Qs.Al-An’am 119)
Seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain untuk menyelamatkan hidupnya merupakan perbuatan saling tolong – menolong atas kebaikan sesuai firman Allah swt


“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Qs.Al-ma’idah
Hukum Transpalntasi Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun menurut medis bahwa si pendonor akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematian dan mendahului kehendak Allah. Hal tersebut dikatakan euthanasia atau memprcepat kematian.
Tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
1. Hadits Nabi:
“ Tidak boleh membuat madhorat pada diri sendiri dan tidah boleh pula membuat madhorot pada orang lain” berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan sekarat/ koma haram hukumnya karena dapat mempercepat kematiannya.
2. Manusia wajib berusaha menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati da di tangan Allah.
Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang sudah meninggal.
Secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. “Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap,” tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan. Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan. Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. Waktunya sekitar 30 menit.
Definisi mati, menurut KUHP kematian seseorang dilihat dari detak jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati Pendapat pertama, Hukumnya Haram.
Dalil pendapat pertama :
Kesucian tubuh manusia setiap bentuk agresi atas tubuh manusia merupakan hal yang terlarang, karena ada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadist Yang melarang. Diantara hadist yang terkenal Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Tubuh manusia adalah amanah; Hidup,diri,dan tubuh manusia pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga,karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan nya kepada orang lain . Tubuh manusia tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata; transplantasi dilakukan dengan memotong organ tubuh seseorang untuk diletakkan (dicangkokkan) pada tubuh orang lain,padahal tubuh manusia bukanlah benda material semata yang dapat dipotong dan dipindah-pindahkan
Pendapat kedua, Hukumnya Boleh atau mubah
Dalil pendapat kedua :

“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”

“Bahaya harus dihilangkan”
Transplantasi merupakan salah satu jenis pengobatan, sedangkan pengobatan merupakan hal yang disuruh dan disyari’atkan dalam islam. Terdapat dua hal yang mudlarat dalam masalah ini yaitu antar memotong bagian tubuh yang suci dan dijaga dan antara menyelamatkan kehidupan yang membutuhkan kepada organ tubuh mayat tersebut. Namun kemudlaratan yang terbesar adalah kemudlaratan untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Maka dipilihlah sesuatu yang kemudlaratannya terbesar untuk dihilangkan yaitu memotong organ mayat untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Qiyas atas maslahat membuka perut mayat wanita yang hamil yang lewat 6 bulan yang disangka kuat hidup anaknya. Qiyas atas boleh membuka perut mayat jika di dalam perutnya terdapat harta orang lain. Terdapat dua Hal kemaslahatan yaitu antara maslahah menjaga kesucian mayat dan antara maslahah menyelamatkan nyawa manusia yang sakit dengan transplantasi organ mayat tersebut.
Meskipun pekerjaan tranplantasi pada dasarnya haram walau pada orang yang telah meninggal, demi kemaslahatan membantu orang yang sangat membutuhkan.

“ Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling ringan”
Namun pendapat yang membolehkan transplantasi organ mayat ini memiliki syarat-syarat yaitu : Ada persetujuan/izin dari pemilik organ asli (atau wasiat ) atau dari ahli warisnya (sesuai tingkatan ahli waris) ,tanpa paksaan ,Si resipien ( yang menerima donor ) telah mengetahui persis segala implikasi pencangkokan . Pencangkokan dilakukan oleh yang ahli dalam ilmu pencangkokan tersebut Tidak boleh menuntut ganti pendonoran organ dengan harta (uang dan sebagainya) Organ tidak diperoleh melalui proses transaksi jual beli karena tidak sah menjual belikan organ tubuh manusia. Seseorang muslim hanya boleh menerima organ dari muslim lainnya kecuali dalam keadaan mendesak (tidak ada muslim yang cocok organnya atau tidak bersedia di dinorkan dengan beberapa alasan).


“Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Maidah:32)
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Hukum Transplantasi Non Muslim
Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih. Kekafiran atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.
Namun sebenarnya yang dimaksud di sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba (ditangkap dengan indra), bukan yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi. Sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengan hati orang kafir di dalam istilah Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:

“Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami “(QS. Al-Hajj: 46)

“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) “(QS. Al-A`raf: 179)
Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik itu najis? Benar bahwa Allah SWT telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah: 28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘najis’ dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang diperlukan.
Hukum Transplantasi Dengan Hewan Najis
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan,
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya”.
Zakariya al-Ansoari dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab, kitab Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karya imam al-Nawawi. Zakariya mengatakan :“Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Zakariya mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh. Dalam ‘ibarah (teks) di atas, Ibn Hajr senada dengan al-Bujayrami, bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan/ada tulang yang najis maka tidak boleh memakai tulang manusia. Kalangan Syafi’iyah berpendapat, menyambung tulang dengan benda najis, jika memang tidak ditemukan benda yang lain. Menurut kalangan Hanafiyah, berobat dengan haram, tidak dibolehkan.
Dari penjelasan di atas, maka makalah ini dapat mengambil kesimpulan bahwa transplantasi dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah Boleh melakukan transplantasi atau tidak. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Allahu ‘alam bissawab.

BAB III
PENUTUP
TRANSPLANTASI (PENCAKOAN) MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM FIQH
A. KESIMPULAN
1. Pengetian Transplantasi
Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
2. Hukum Transplantasi
Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang masih hidup
Pendapat pertama, Hukumnya tidak Boleh (Haram).


“dan jangan lah kamu membunuh dirimu sendiri,sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu “ ( Q.S.An-Nisa’:4:29)


“ Menghindari kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan”
Pendapat kedua, Hukumnya Boleh atau mubah

“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”


“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”
Hukum Transpalntasi Dalam Keadaan Koma
Transplantasi dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun menurut medis bahwa si pendonor akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematian dan mendahului kehendak Allah. Hal tersebut dikatakan euthanasia atau memprcepat kematian.
“ Tidak boleh membuat madhorat pada diri sendiri dan tidah boleh pula membuat madhorot pada orang lain
Hukum Mendonorkan organ tubuh dari manusia yang sudah meninggal.
Pendapat pertama, Hukumnya Haram.
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Pendapat kedua, Hukumnya Boleh atau mubah

“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”


Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling ringan
Hukum Transplantasi Non Muslim
Mencangkok organ dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” ‘najis’ dalam ayat tersebut najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
Hukum Transplantasi Dengan Hewan Najis
Kalangan Syafi’iyah berpendapat, bahwa seorang boleh melakukan tranplantasi dengan benda najis, jika memang tidak ada benda lain yang sama atau efektif

“Dharurat dapat dihilangkan”
Namun, menurut kalangan Hanafiyah, berpendapat berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan.

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian di dalam sesuatu yang haram”

DAFTAR PUSTAKA

Mahajuddin. 2008. Masail Fiqhiyah Berbagau Kasus yang Dihadapi Islam masa kini. Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abuddin.2003. Masail Fiqhiyah. Jakarta timur: Prenada Media
Yasid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Media
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah
http://surabaya.detik.com/read/2010/04/24/123339/1344593/466/dihadiri-wagub-jatim-berharap-cangkok-hati
lancarhttp://www.mahadalyalfithrah.co.cc/2010/04/hukum-transplantasi-dalam-hukum-islam.html
http://baim32.multiply.com/journal/item/76/Transplantasi
http://zamzamisaleh.blogspot.com/2009/06/hukum-transplantasi-dalam-islam.html

URGENSI GURU DALAM KTSP


URGENSI GURU DALAM KTSP

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
PERENCANAAN PENDIDIKAN


Dosen Pembimbing:
Drs. M. Arif AM, MA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
( S T A I M )
FAKULTAS TARBIYAH PRODI S-1 PAI
Nglawak Kertosono Nganjuk
Juni 2010


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pendidikan memiliki 8 komponen utama, yakni tujuan, siswa, guru, kurikulum, metode, sarana, materi dan lingkungan. Di mana keseluruhan aspek tersebut saling terkait dan tidak dapat ditinggalkan salah satunya.
Kurikulum yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah kurikulum desentralisasi berbasis kompetensi dan pemberdayaan satuan pendidikan yang disebut dengan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Adapun aspek yang tak kalah pentingnya dalam menjalankan kurikulum tersebut adalah guru. Sebab tanpa guru apalah arti sebuah kurikulum, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kedelapan aspek di atas tidak akan dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pentingnya guru dalam kurikulum, yakni KTSP tersebut.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat ditemukan rumusan-rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa urgensi guru dalam pendidikan?
2. Bagaimana urgensi guru dalam KTSP?

3. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan pembahasan, yaitu:
1. Untuk mengetahui urgensi guru dalam pendidikan.
2. Untuk mengetahui urgensi guru dalam KTSP.



BAB II
URGENSI GURU DALAM KTSP


A. PENGERTIAN GURU
Guru adalah pendidik profesional, dia harus mampu menjadi motivator untuk murid-muridnya. Tujuan utama seorang guru adalah mewujudkan keinginan seseorang menjadi riil, selain itu konsekuensinya yaitu harus dapat membuat orang lain "bisa". Guru yang baik adalah guru yang mampu memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Guru disebut pendidik profesional sebab secara tidak langsung ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tida mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru.
Agama Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan (guru/ulama), sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Mujadalah: 11
"… Dan Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…"

B. URGENSI GURU DALAM PENDIDIKAN
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pendidikan memiliki 8 komponen utama, yakni tujuan, siswa, guru, kurikulum, metode, sarana, materi dan lingkungan. Di mana keseluruhan aspek tersebut saling terkait dan tidak dapat ditinggalkan salah satunya .
Salah satu aspek yang sangat penting adalah guru, sebab guru merupakan ujung tombak proses pendidikan, bak motor guru merupakan mesin pendorongnya. Aktivitas pendidikan dan pembelajaran akan sangat berpengaruh dengan kondisi dan profesionalisme guru.
Fungsi sentral guru adalah mendidik (fungsi educational) . Fungsi sentral ini berjalan sejajar dengan atau dalam melakukan kegiatan mengajar (fungsi instruksional) dan kegiatan bimbingan, bahkan dalam setiap tingkah lakunya dalam berhadapan dengan murid (interaksi edukatif) senantiasa terkandung funsi mendidik.
Berkaitan dengan fungsi sentral tersebut, maka begitu pentingnya guru dalam proses pendidikan dan hasil yang akan dicapai dalam pendidikan itu sendiri, meskipun indikator yang akan menentukan berhasil atau tidaknya output dan outcome dari pendidikan tersebut adalah anak didik atau siswa. Di sinilah dituntut adanya profesionalisme guru dalam pendidikan, agar mampu mendongkrak hasil dari pendidikan itu sendiri.
Adapun urgensi guru dalam pendidikan seperti yang dikutip dari pendapat Prof. Dr. Zakiyah Daradjat ada dalam 3 aspek, yakni :
a) Guru sebagai pengajar
Sebagai pengajar, guru bertugas mebina perkembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Guru mengetahui bahwa pada ahkir setiap satuan pelajaran kadang-kadang hanya terjadi perubahan pada perkembangan pengetahuannya saja.
Dari sinilah pentingnya sikap dari guru sebagai “pendidik” yakni berusaha mentransferkan nilai kepada anak didiknya agar berkembang tidak hanya aspek kognitifnya, namun juga aspek psikomotorik dan afektifnya.
b) Guru sebagai pembimbing
Dalam peran ini, guru bertindak sebagai guider (penunjuk) dan motivator bagi anak didik untuk berkembang mencapai kedewasaannya. Fungsi sebagai pembimbing dapat terjadi tidak hanya dalam ruang kelas, tetapi juga di luar ruang kelas, sebab peran sebagai pembimbing ini membutukan kontinuitas dan keuletan.
Termasuk dalam hal ini adalah fungsi guru dalam bimbingan dan konseling di sekolah, meskipun hal tersebut bukan termasuk dalam jam pelajaran atau sistem klasikal.
Dengan adanya peran ini, maka akan tercipta keseimbangan dalam 3 aspek kopetensi tersebut.
c) Guru sebagai administrator
Dalam hal ini guru bukan bertindak sebagai pegawai tata usaha atau staf kantor, namun fungsi ini lebih ke dalam manajemen guru itu sendiri. Manajemen tersebut dapat berupa manajemen kelas (pengelolaan kelas), manajemen pembelajaran (dalam mengatur rencana pelaksaan pembelajaran) maupun manajemen yang berhubungan dengan interaksi guru dengan murid maupun guru dengan warga sekolah (lebih kepada manajemen diri guru).
Dengan managing yang baik, maka akan menunjang lancar atau tidaknya proses pembelajaran dan penerapan transfer nilai yang dilakukan.

C. URGENSI GURU DALAM KTSP
KTSP yang mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 2006 jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa KTSP merupakan produk matang dari UU No. 23/2003 tentang sistem pendidikan nasional yang bernafaskan sistem desentralisasi dan otonomi satuan pendidikan.
Ada dua hal penting yang membedakan KTSP dengan kurikulum sebelumnya, yakni
1) Diberlakukannya kurikulum yang berdiversivikasi (kurikulum yang bernafas pada variasi dan inovasi masing-masing satuan pendidikan dengan kompetisi yang sehat dan bermutu),
2) Adanya standarisasi pendidikan (yang didasarkan pada PP. No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Berlakunya kurikulum yang diversivikasi mau tidak mau harus memacu setiap satuan pendidikan yang ada untuk menciptakan keunggulan pada satuan masing-masing. Dalam satuan pendidikan semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah maupun dewan pendidikan) harus secara pro-aktif mengembangkan potensi yang dimiliki, di sinilah pentingnya guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum yang berbasis desentralisasi dan diversivikasi tersebut (KTSP).
Dalam hal ini tampak jelas bagaimana urgensi guru dalam KTSP, yakni:
a) Guru sebagai pelaksana kurikulum
Sudah jelas bahwa guru merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan kurikulum.
Dalam menjalankan fungsi sebagai salah satu pelaksana kurikulum adalah dengan menciptakan iklim belajar yang kondusif dan nyaman yakni :
1) Menyediakan pilihan bagi peserta didik baik yang lambat maupun cepat dalam melakukan tugas pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong dan memotivasi semangat bagi seluruh peserta didik berdasar kemampuan mereka masing-masing.
2) Memberikan pembelajaran remedial bagi peserta didik yang kurang berprestasi atau berprestasi rendah.
3) Mengembangkan organisasi kelas yang efektif, menarik, aman dan nyaman bagi perkembangan potensi seluruh peserta didik secara optimal.
4) Menciptakan kerja sama saling menghargai, baik antar peserta didik, maupun antara peserta didik dengan guru dan pengelola pembelajaran lain.
5) Melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan belajar dan pembelajaran.
6) Mengembangkan proses pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama.
7) Mengembangkan sistem evaluasi belajar dan pembelajaran dengan mengedepankan evaluasi diri sendiri (self evaluation).
Begitu penting peran guru dalam pelaksanaan kurikulum sehingga untuk keberhasilan KTSP itu sendiri maka guru diharapkan untuk kreatif, inovatif, mandiri dan mampu bekerja sama dengan komponen pembelajaran yang lain. Peran guru yang optimal akan semakin memperbesar keberhasilan penerapan KTSP dalam setiap satuan pendidikan.
b) Guru sebagai pengembang kurikulum
Dalam hal pengembangan kurikulum (KTSP) peran guru juga penting, yakni dalam hal menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Fungsi dari RPP adalah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran agar lebih terarah dan berjalan secara efekrtif dan efisien .
Guru merupakan pengembang kurikulum bagi kelasnya, yang akan meterjemahkan, menjabarkan, dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada peserta didik.
Adapun sebagai developer terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan guru dalam membuat RPP yaitu :
1) Mengidentifikasikan dan mengelompokkan kompetensi yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran.
2) Mengembangkan materi standar. Materi standar mencakup tiga aspek yakni ilmu pengetahuan (kognitif), proses (psikomotorik) dan nilai (afektif). Di sinilah tugas guru untuk mengembangkan standar yang sudah ada menjadi bahan jadi yang siap dikonsumsi oleh siswa.
3) Menentukan metode. Metode merupakan jalan atau kondisi yang mendorong siswa untuk termotivasi dlam proses yang sedang dijalankan sehingga tercipta kondisi pembelajaran yang nyaman dan menarik (joyful learning). Dengan terciptanya kondisi yang kondusif, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan diharapkan akan mencapai tujuan yang diharapkan.
c) Profesionalisme guru sangat penting dalam berhasil atau tidaknya kurikulum tersebut
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa KTSP menuntut seluruh komponen satuan pendidikan untuk berpacu dan berkompetisi dengan satuan pendidikan lain untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Guru yang tidak profesional akan memperlambat pengembangan potensi dari satuan pendidikan tersebut sehingga akan tertingal atau kalah mutu dengan satuan pendidikan yang lain. Maka dengan kata lain mau tidak mau setiap satuan pendidikan harus bersendikan guru-guru yang profesional.
Adapun kemampuan dasar profesionalisme guru yang harus dimiliki menurut Zainal Aqib adalah :
1) Kemampuan menguasai bahan pelajaran
2) Kemampuan mengelola program belajar-mengajar
3) Kemampuan mengelola kelas
4) Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar
5) Kemampuan menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran
6) Kemampuan mengenal program layanan BK di sekolah
7) Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
8) Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran
Guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di kelas. Guru merupakan garda terdepan dalam implementasi KTSP. Guru merupakan kurikulum berjalan sebab sebaik apapun kurikulum itu dan sebaik apapun sistem pendidikan yang ada, tanpa didukung guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Tanpa upaya peningkatan mutu dari guru, maka tujuan pendidikan tidak akan mencapai harapan yang diinginkan.

BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di kelas. Guru merupakan garda terdepan dalam implementasi KTSP. Guru merupakan kurikulum berjalan sebab sebaik apapun kurikulum itu dan sebaik apapun sistem pendidikan yang ada, tanpa didukung guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia.
Adapun urgensi guru dalam pendidikan adalah: guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagi administrator.
Sedangkan urgensi guru dalam KTSP adalah: guru sebagai pelaksana kurikulum, guru sebagai, guru sebagai pengembang kurikulum, dan profesionalisme guru sangat penting dalam berhasil atau tidaknya kurikulum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA



1. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Rosda Karya.

2. Daradjat, Zakiyah, dkk. 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara

3. Kunandar. 2007. Guru Profesional; Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

GANGGUAN - GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN


GANGGUAN- GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ Psikologi Agama”


Dosen pembimbing:
Ainna Amalia, M. PsI.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
FAKULTAS TARBIYAH PRODI S1-PAI
Nglawak Kertosono Nganjuk
Maret, 2011

GANGGUAN- GANGGUAN DALAM PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. oleh karena itu, kesadarn agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggmbarkan sisi- sisi batin kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakaral. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agma. Pada dasarnya sikap jiwa keagamaan berasal dari dua faktor, yaitu faktor intrn mengatakn bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama, seperti naluri, akal, dan perasaan. Dan faktor ekstrn terdorong beragama karena pengaruh dari luar dirinya, seperti rasa takut ataupun bersalah. Faktor-faktor inilah yang menciptakan tata cara pemujaan yang disebut agama.
Dengan demikian, pada makalah ini akan membahas berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya, baik pengaruh yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun dari luar.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari Latar Belakang di atas, maka pada makalah ini dapat memeberikan Rumusan Masalah sebagai berikut:
1. Apa saja faktor intrn yang memepengaruhi perkembanagan jiwa keagamaan seseorang?
2. Apa saja faktor ekstrn yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang?
3. Bagaimana Fanatisme dan ketaatan mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Memahami faktor intrn yang mempengaruhi perkembanagn jiwa keagamaan seseorang
2. Memahami faktor ekstrn yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang
3. Memahami faktor fanatisme dan ketaatan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang


BAB II
PEMBAHASAN
GANGGUAN- GANGGUAN DALAM
PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

A. FAKTOR INTRN
Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh beberapa faktor intrn. Para ahli psikologi agama mengemukakan beberapa teori berdasarkan pendekatan masing- masing. Pada dasarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antar lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan.
1) Faktor Hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann Gregor Mandel telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia. kemudian dikembangkan oleh H. Nilson Ehle dan R. Emerson serta E.East. mereka meneliti tentang pengaruh genetika terhadap warna kulit.
Secara garis besarnya pembawa sifat turunan terdiri dari genotip dan fenotip. Genotip merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan namun tidak jauh menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, waerna kulit ataupun bentuk fisik
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Demikian pula Margeth Mead mengemukakan penelitiannya terhadap suku Mundugumor dan Arpesh bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa- gesa (Arapesh) menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan tenang (mundugumor) akan menampilkan sikap yang toleran.
Menurut Sigmund perbuatan buruk yang dialakukan akan menimbulkan rasa bersalah ( sense of guilt ) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangna agama, maka akan menimbulkan rasa berdosa. Dan perasan ini yang ikut memepengaruhi perkrmbangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas.
2) Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development Of Relegius on children Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak- anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama, selanjutnya pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itupun menyrtai perkembangan jiwa keagamaa mereka. Bahkan menurut Dr. Kinsey sekitar tahun 1950-an remaja Amerika telah melakukan mesturbasi, homoseksual, dan onani.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhitejadinya konversi agama. Bahkan menurut Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya konversi agama. Meskipun menurut Robert H. Thouless bahwa konversi cenderung dinilai sebagai produk sugestu dan bukan akibat dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang, namun kenyataan itu tak sepenuhnya dapat diterima.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tamnpaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi lebih banyak tejadi pada anak- anak, mengingat diusia tersebut mereka lebih mudahmenerima sugesti. Namun kenyataanya hingga usia baya pun masih terjadi konversi agama. Bahkan konversi yang terjadi pada Sidharta Gautama, Marthin Luther terjadi di usia sekitar 40 tahunan. Kemudian al-Ghazali mengalaminya pada usia yng lebih tua lagi. Robert H. Thouless membagikonversi menjadi konversi intelektual, moral, dan sosial.
Telepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembanga jiwa keagamaan barangkali tidak di abaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu- satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yang jelas kenyataa ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda
3) Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur tersebut yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaa, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan.
Tiplogi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalaman lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapt diubah karen asudah terbentuk berdasarkan komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Springer, Sheldon, dan sejumlah psikologi lainnya telah mengidentifikasikan adanya tipe- tipe kepribadian, Edward Spanger membagi tipe kepribadian menjadi enam, yaitu: manusia ilmu, manusia sosial, manusia ekonomi, manusia estesis, manusia polotik, dan manusia relegius. Sebaliknya melalui pendekata karaterologis, Erich Fromm karakter yang mendasari sifat- sifat perilaku dan menilai sejauh mana baik buruknya perilaku terbentuk dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia membagi hubungan ini menjadi edua, yaitu: 1) hubungan manusia dengan alam kebendaan 2) hubungan sesamam manusia yang disebut sosialisasi.
Unsur bawaan merupakan faktor intrn yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut sebagai identitas (ati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri- ciri pembeda dari individu luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secar individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembanga aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu dijimpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda ( double personality). Dam kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek kejiwaan pula.
4) Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor intrn. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud menunjukkan gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. dengan demikian sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor- faktor tertentu saja. Pendekatan- pendekatan psikologi kepribadian menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian dengan kondisi kejiwaan manusia hubungan ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal)
Gejala- gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan (psycosis), dan kepribadian (personalty). Kondisi kejiwaan bersumber dari neurose ini menimbulkan gejala kecemasan neirose, absesi dan kompulasi seta amnesia. Kemudian kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita schizoprenia, paranoia, maniac, serta infantile autism (berperilau seperti anak- anak).

B. FAKTOR EKSTRN
Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perlaku keagamaan.
Potensi manusia yang secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berua kecendrunga untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang bersal dari luar manusia. pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, yang secara umum disebut sosialisasi.
Faktor ekstrn yang dinilai berpengaruh dalam perkembanagn jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut di bagi menjadi tiga, yaitu 1) keluarga 2) institusi 3) masyarakat
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra terhadap bapaknya. Jika seseorang menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku bapaknya. Demikian pula sebaliknya.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah banyak disadari. Oleh karen itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan tanggung jawab. Ada semacam ramgkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqoqohkan, memberi nama baik, dsb. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar perkembanga jiwa keagamaan.
2) Linkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak 2) hubungan guru dan murid 3) hubungan antar anak. Dilihat dari kaitannya denagan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab pada prinsipnya perkambangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok tersebut secar umum tersirat unsur- unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, sabar, simapati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat- sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang bersisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagi pendidik serta pergaulan antar temandi sekolah dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitnnya dengan perkmbangan keagamaan seseorang.

3) Lingkungan Masyarakat
Pergaulan di masyarakat umumnya kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Meskipun tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mendukung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi, norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang, pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembanagn jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun intitusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung lebih sekuler, kondisi seperti itu jarang di jumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.

C. FANATISME DAN KETAATAN
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembanagn jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga terjadi hubungan dengan benda- benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi) seperti institusi keagamaan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed) 2) arahan dalam (inner directed) 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional di pandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agam agaknya tidak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering sering dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecendrungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka bagi pembenara spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
GANGGUAN- GANGGUAN DALAM
PERKRMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A. KESIMPULAN
 Faktor Intrn
 Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secaraturun- menurun, tetapi dalam penelitian terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
 Tingkat Usia
Perkembangan pada anak- anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan temasuk perkembangan berpikir
 Kepribadian
Hubungan antara unsur hereditas dan lingkungan yang membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaan, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan
 Kondisi Kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal, Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal,
 Faktor Ekstrn
 Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra terhadap orang tuanya. Jika seseorang menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku orang tuanya. Demikian pula sebaliknya.
 Lingkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
 Lingkungan Masyrakat
kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhu bersama.
 Fanatisme dan Ketaatan
Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

FILSAFAT ISLAM


FILSAFAT ISLAM

1. Pengantar Filasafat Islam
Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.
Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.
Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.
Apabila melihat ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam kata hikmah itu, antara lain adalah:
Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-maksudnya.

Kenabian

Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani, Hal. 15).
Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum (Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.

Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.
Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.
Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.
Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu dalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.
2. Obyek kajian filsafat islam
Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal itu, yaitu:
Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?

Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?
1. Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
2. Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
3. Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?
Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain.
Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?
Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.
Dari uraian ini, maka filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya.
Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

3. Hubungan filsafat islam dengan filsafat lainnya
a. Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
b. Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Islam
Keunggulan khusus bagi filsafat Islam dalam masalah pembagian cabang-cabangnya adalah mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik ataupun falak yang semuanya menjadi cabang filsafat Islam. Sehingga hal ini menjadi nilai lebih bagi filsafat Islam. Dengan demikian filsafat Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang mandiri. Walaupun hasil juga ditemukan keidentikan dengan Pemandangan orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori tentang pembagian filsafat oleh filosuf-filosuf Islam.
Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu ke-Islaman dan mempengaruhi pembatas-pembatasnya. Penyelidikan terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dan yang menjadi perluasan ilmu dengan tidak membatasi diri dari hasil-hasil karya filosuf Islam saja, tetapi dengan memperluas pembahasannya. Hasil ini meliputi ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh dan tarikh tasyri’.
Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat ada yang lebih berani dan lebih bebas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di mana perlu diketahui bahwa pembahasan ilmu kalam dan tasawuf banyak terdapat pemikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.
Pemikiran Islam mempunyai ciri khas tersendiri dibanding dengan filsafat Aristoteles, seperti halnya pemikiran Islam pada ilmu kalam dan tasawuf. Demikian pula pada pokok-pokok hukum Islam (tasyri’) dan Ushul Fiqh juga terdapat beberapa uraian yang logis dan sistematis dan mengandung segi-segi kefilsafatan. Syekh Mustafa Abdur Raziq adalah orang yang pertama mengusulkan ilmu Fiqh menjadi bagian dari filsafat. Berikut ini ada beberapa hubungan filsafat Islam dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Pengetahuan:
c. Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Problem yang ada terhadap filsafat Islam, apakah identik dengan Ilmu Kalam? Ataukah sebagai ilmu yang berdiri sendiri? Apakah ilmu kalam itu sebagai cabang dari filsafat?
Ada beberapa pendapat ahli yang mencoba menjawab pertanyaan di atas antara lain:
Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau filsafat sama dengan ilmu kalam. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bahwa syariat-Nya. Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan sebab-sebabnya. Seperti filosuf Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah SWT. sebagaimana aliran materialisme.
Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut pendapat paling kuat, bahwa ia lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qur’an yaitu Kalam Allah, apakah ia Qadim atau makhluk. Perbedaan pendapat terjadi antra Kaum Mu’tazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut Asy’ari. Adapun filsafat adalah istilah Yunani yang masuk ke dalam bahasa Arab sebagai penegasan Al-Farabi bahwa nama filsafat itu berasal dari Yunani dan masuk ke dalam bahasa Arab.
Pada Abad 2 H, telah lahir filsafat Islam, dengan bukti adanya filosuf-filosuf Islam seperti Al-Kindi.
Di samping itu, di kalangan ahli ilmu kalam sudah ada ahli yang terkenal seperti Al-Annazam, Al-Jubbai, Abul-Huzail Al-‘Allaf. Para ahli ilmu kalam ini tidak ada yang menamakan diri sebagai filosuf. Dan ada pertentangan tajam di antara kedua belah pihak. Sebagaimana Al-Ghazali sebagai pengikut aliran Asy’ariyah yang menulis kitab Tahafutul Falasifah. Namun dari kalangan ahli filsafat, Ibnu Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis: Tahafutul Al-Tahafuit (Inkosistensinya kitab Tahafut).

Prof. Tara Chana
Dia mengemukakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk arti dari ilmu kalam. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa filsafat itu telah lahir dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan pada dasarnya mementingkan pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya, ataupun untuk membangun pemikiran-pemikiran theologi keagamaan.

Prof. Fuad Al-Ahwani
Ia mengakui, bahwa sekolah pada abad ke-6 H, filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini telah menelan filsafat sedemikian rupa dan memasukkannya di dalam kitab-kitabnya. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam didahului dengan pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosuf.


DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Hanafi, MA. 1990.Pengantar Filsafat Islam.Jakarta. Bulan Bintang.
[2] Ahmad Tafsir. 1990.Filsafat Umum. Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung. PT. Remaja Rosda Jarya.
[3] Abu Bakar Aceh.1982. Sejarah Filsafat Islam.Semarang. Ramadhani.
[4] Hamzah Ya’qub. 1992.Filsafat Agama. Titik Temu Akal Dengan Wahyu.Jakarta. Pedoman ilmu Jaya.

ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh”
Dosen Pembimbing:
Zuhal Ma’ruf, M.Ag.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2010


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita hidup didunia ini tidak lepas dari hubungan antara manusia satu dengan yang lain, untuk itu sangatlah penting bagi kita untuk memahami fiqh muamalah, sehingga kehidupan ini berjalan baik dan lancar.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah-masalah yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tentang ‘ariyah (pinjam-meminjam), rahn (gadai), ji’aalah (upah) dan hiwalah (pemindahan hutang). Sehingga kita mengetahui bagaimana pengertian, hukum dan rukun dari ‘ariyah, rahn, ji’aalah dan hiwalah.
Dan makalah ini bertujuan agar kita sebagai umat manusia bisa menjalankan kehidupan antar sesama senantiasa berlandaskan dengan hukum islam, sehingga kehidupan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian ariyah, hukum dan rukunnya?
2. Apa pengertian rahn, hukum dan rukunnya?
3. Apa pengertian jialah, hukum dan rukunnya?
4. Apa pengertian hiwalah, hukum dan rukunnya?
C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas maka makalah ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang pengertian ariyah beserta hukum dan rukunnya.
2. Mengetahui tentang pengertian rahn beserta hukum dan rukunnya.
3. mengetahui tentang pengertian jialah dan rukunnya.
4. Mengetahui pengertian hiwalah dan rukunnya.


ARIYAH, RAHN, JIALAH DAN HIWALAH
PEMBAHASAN
A. ARIYAH
1. Pengertian
‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.
Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Firman Allah swt:


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(Al-Maidah:2)
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Firman Allah Swt:

“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”(al-Ma’un: 7).
Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, diantaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam-meminjam.
Sabda Rasulullah saw:

“pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.”(riwayat Abu Daud dan Tirmizi yang dinilai hadis hasan)
2. Hukum
Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunnat, seperti tolong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjankan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan digunakan untuk sesuatu yang haram, seperti meminjamkan pisau digunakan untuk membunuh. Dari hukum-hukum diatas menggunakan Kaidah:”jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.”
3. Rukun
a. Ada yang meminjamkan. Syaratnya yaitu:
• Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
• Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang memijamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang pinjamannya, karena manfaat barang yang dipinjam bukan miliknya.
b. Ada yang meminjam
Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
c. Ada barang yang dipinjam. Syaratnya :
• Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
• Sewaktu diambil manfaatnya zatnya tetap (tidak rusak). Oleh karena itu makanan tidak sah dipinjamkan.
d. Ada lafadz
Menurut sebagian orang, sah dengan tidak berlafadz.
B. RAHN
1. Pengertian
Menurut bahasanya, (dalam bahasa arab) Rahn adalah tetap dan lestari, atau juga Al Habsu, yang artinya penahanan. Dan untuk Al Hasbu, firman Allah:

“tiap-tiap pribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuat”.
Menurut syara’, ia berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin adalah yang menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang.
2. Hukum
Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut Al Kitab, As Sunah, dan Ijma’.
Dalil dari Al kitab:



“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorng penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”.
Dalil dari As Sunah:
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk meminta gandum. Al Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. berkata:


“ Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”.
Dan para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak mempertentangkan kebolehannya. Jumhur berpendapat: disyari’atkan pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah terhadap orang Yahudi tadi, di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dengan ayat diatas, itu melihat kebiasaannya, dimana pada umumnya Rahn dilakukan pada waktu bepergian.
3. Syarat Sahnya
Disyaratkan untuk sahnya akad Rahn (gadai) sebagai berikut:
a. Berakal
b. Baligh
c. Bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada saat akad sekalipun tidak satu jenis.
d. Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.


C. JI’ALAH
1. Pengertian
Ji’alah artinya janji atau upah. Secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberrikan kepada seseorang, karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara Terminologi fiqh berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn sesuai yang diharapkan.Misalnya, orang kehilangan kuda, dia berkata “barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku akan bayar sekian”.
2. Hukum
Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa ji’alah boleh dilakukan dengan alasan:
 Firman Allah:


Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.(yusuf:72)
 Dalam hadist diriwayatkan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara ji’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatok kalajengking dengan cara membaca surat al-fatehah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah itu tidak halal. Rasulullah pun tertawa seraya bersabda: “tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli hadist kecuali an-Nasai).
 Secara logika ji’alah dapat dibenarkan karena salah satu cara untuk memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya ijarah dan mudhaarabah (perjanjian kerjasama dagang).
Mazhab Hanafi tidak membenarkan ji’aalah karena dalam ji’aalah terdapat unsur gharar (penipuan), dan perbuatan yang mengandung gharar dilarang dalam islam.

3. Rukun
 Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
 Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upah tersebut orang yang kehilangan itu sendiri.
 Pekerjaan (mencari barang yang hilang).
 Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang ditentukan.
D. HIWALAH
1. Pengertian
Hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil, yang artinya memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jiziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

“pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan hiwalah menurut istilah, para ulama mendefinisikannya berbeda-beda, diantaranya yaitu:
a. Menurut Hanafi
Hiwalah ialah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.
b. Al-Jiziri
Hiwalah ialah pernikahan utangdari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
c. Syihab Al-Din Al-Qalyubi
Hiwalah ialah akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain.
2. Hukum
Pelaksanaan hiwalah dibenarkan dalam islam, sebagaimana sabda Rasulullah:

“memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut)” (HR. Jamaah)
Sabda Rasulullah saw:

“orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang menyatakan bahwa hiwalah itu boleh dilakukan.

3. Rukun
Menurut Mazhab Hnafi, rukun hiwalah hanya: ijab dari pihak pertama, kabul dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali rukun hiwalah ada enam yaitu:
 Muhil (orang yang berutang dan berpiutang).
 Muhtal (orang yang berpiutang).
 Muhal alaih (orang yang berutang).
 Utang muhil kepada muhtal.
 Utang muhal alaih kepada muhil.
 Sigat (lafadz akad).

PENUTUP
Kesimpulan
1. ‘ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Hukum asalnya yaitu sunnah, tapi bisa menjadi wajib dan bisa menjadi haram. Dan rukun ‘ariyah ialah ada yang meminjamkan, ada yang meminjam, ada barang yang dipinjam dan ada lafazd.
2. Rahn berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Rahin adalah yang menggadaikan, Murtahin yang mengikat barang. Hukum rahn jaiz (boleh) menurut al kitab, sunnah dan ijma’. Dan syarat sahnya untuk melaksanakan rahn ialah berakal, baligh, bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan) itu ada pada satu akad meskipun tidak satu jenis, bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.
3. Ji’aalah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilakn sesuai yang diharapkan. Hukum ji’aalah kalau menurut Maliki, Syafi’I dan Hanbali ji’aalah diperbolehkan sedangkan menurut Hanafi dilarang karena mengandung gharar (penipuan). Dan rukunnya yaitu lafadz, orang yang menjanjikan upah, pekerjaan dan upah.
4. Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain. Hukum hiwalah dibenarkan dalam islam sebaimana sabda nabi diatas. Dan rukun hiwalah yaitu orang pertama, orang kedua, orang ketiga, ada hutang pihak pertama kepada pihak kedua, ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama dan ada sighat.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali.2003.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rasjid,Sulaiman.1986.Fiqih Islam.Bandar Lampung: CV Sinar Baru.
Sabiq,Sayyid.1998.Fikih Sunnah.Bandung: Pustaka.
Suhendi,Hendi.2002.Fiqh Muamalah.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.